HAJI Abdul Malik Karim Amrullah atau bisa dikenal dengan Buya Hamka adalah ulama besar yang meninggalkan jejak kebaikan bagi umat dan bangsa ini. Semasa hidup, ulama kelahiran Maninjau, Sumatera Barat, 17 Februari 1908, ini dikenal sebagai sosok ulama yang santun dalam bermuamalah, namun tegas dalam akidah. “Kita sebagai ulama telah menjual diri kita kepada Allah, tidak bisa dijual lagi kepada pihak manapun,”demikian tegasnya ketika dilantik sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Hamka salah seorang ulama yang mendapat gelar Doktor Honouris Causa dari Universitas Al-Azhar, Mesir, karena kiprah dakwahnya dalam membina umat. Ia dikenal dengan fatwanya ketika menjabat sebagai Ketua MUI, yang mengeluarkan fatwa haram bagi umat untuk Islam mengikuti “Perayaan Natal Bersama”. Ia juga yang menolak undangan untuk bertemu Paus, pemimpin Katholik dunia, ketika datang berkunjung ke Istana Negara pada masa Presiden Soeharto. Dengan tegas, Buya Hamka mengatakan perihal penolakannya bertemu Paus tersebut, “Bagaimana saya bisa bersilaturrahmi dengan beliau, sedangkan umat Islam dengan berbagai cara, bujukan dan rayuan, uang, beras, dimurtadkan oleh perintahnya?”
Demikian ketegasan Buya Hamka dalam soal akidah. Namun dalam bermuamalah, ia santun dan lembut, sikapnya mencerminkan pribadinya. Ia sosok pemaaf, tak pernah menaruh dendam…
Baru-baru ini, anak kelima dari Buya Hamka, Irfan Hamka, merilis ulang sebuah buku yang menggambarkan tentang sosok dan pribadi ulama tersebut. Buku berjudul “Ayah” itu menceritakan pengalaman hidup Irfan Hamka bersama sang ayah, dan suka duka perjalanan hidup ayah tercintanya, baik sebagai tokoh agama, politisi, sastrawan, dan kepala rumah tangga. Sebelumnya, putra kedua Buya Hamka, Rusjdi Hamka, juga pernah menulis buku yang mengisahkan tentang sosok sang ayah, yang berjudul “Pribadi dan Martabat Buya Hamka.”
Ada hal menarik yang diceritakan dalam buku “Ayah” tersebut. Terutama tentang bagaimana sosok pribadi Buya Hamka ketika menghadapi orang-orang yang pernah memfitnah, membenci, dan memusuhinya. Sebagai ulama yang teguh pendirian, tentu ada pihak yang tak suka dengan sikapnya. Irfan Hamka menceritakan bagaimana sikap Buya Hamka terhadap tiga orang tokoh yang dulu pernah berseberangan secara ideologi, memusuhi, membenci, bahkan memfitnahnya. Ketiga tokoh tersebut adalah Soekarno (Presiden Pertama RI), Mohammad Yamin (tokoh perumus lambang dan dasar negara), dan Pramoedya Ananta Toer (Budayawan Lekra/Lembaga Kebudayaan Rakyat, organisasi seni dan budaya yang berafiliasi pada Partai Komunis Indonesia).
Betapapun ketiga tokoh itu membenci dan memusuhi Buya Hamka, namun akhir dari kesudahan hidupnya mereka justru begitu menghormati dan menghargai pribadi dan martabat Buya Hamka.
Soekarno ketika menjabat sebagai Presiden RI dan memaksakan ideologi Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis), menahan Buya Hamka selama dua tahun empat bulan dengan tuduhan yang tidak main-main: terlibat dalam rencana pembunuhan Presiden Soekarno. Pada 28 Agustus 1964, Buya Hamka ditangkap dan dijerat dengan tuduhan melanggar Undang-Undang Anti Subversif Pempres No.11. Hamka ditahan tanpa proses persidangan dan tanpa diberikan hak sedikitpun untuk melakukan pembelaaan. Tak hanya itu, buku-buku karyanya pun bahkan dilarang untuk diedarkan. Hamka dijebloskan ke penjara, diperlakukan bak penjahat yang mengancam negara. Begitu zalimnya sikap Soekarno terhadap ulama tersebut.
Namun apa yang terjadi, setelah bebas dari penjara, dan Buya Hamka sudah mulai beraktivitas kembali, sementara kekuasaan Soekarno sudah terjungkal, peristiwa mengharukan terjadi. Soekarno yang mulai hidup terasing dan sakit-sakitan, di akhir hayatnya kemudian menitipkan pesan kepada orang yang dulu pernah dizaliminya. Pesan tersebut disampaikan kepada Buya Hamka lewat ajudan Presiden Soeharto, Mayjen Soeryo, pada 16 Juni 1970. Isi pesan tersebut berbunyi, “Bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam shalat jenazahku..”
Hamka terkejut, pesan tersebut ternyata datang seiring dengan kabar kematian Soekarno. Tanpa pikir panjang, ia kemudian melayat ke Wisma Yaso, tempat jenazah Bung Karno disemayamkan. Sesuai wasiat Soekarno, Buya Hamka pun memimpin shalat jenazah tokoh yang pernah menjebloskannya ke penjara itu. Dengan ikhlas ia menunaikan wasiat itu, mereka yang hadir pun terharu. Lalu, apakah Buya Hamka tidak menaruh dendam pada Soekarno. Dengan ketulusan ia mengatakan, “Saya tidak pernah dendam kepada orang yang pernah menyakiti saya. Dendam itu termasuk dosa. Selama dua tahun empat bulan saya ditahan, saya merasa itu semua merupakan anugerah yang tiada terhingga dari Allah kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan kitab tafsir Al-Qur’an 30 juz. Bila bukan dalam tahanan, tidak mungkin ada waktu saya untuk menyelesaikan pekerjaan itu…”
Peristiwa mengharukan tentang kebesaran jiwa Buya Hamka dalam memaafkan orang-orang yang pernah membencinya adalah terkait dengan kematian Mohammad Yamin, salah seorang founding father negeri ini, tokoh kebangsaan yang juga termasuk perumus dasar dan lambang negara. Meski berasal dari Sumatera Barat, namun Yamin adalah produk pendidikan sekular. Ia aktif di Jong Sumatranen Bond (Ikatan Pemuda Sumatra) yang bercorak kesukuaan dan sekular. Ia juga menjadi anggota Gerakan Theosofi, sebuah organisasi kebatinan yang juga mengedepankan sekularisme dan paham kebangsaan.
Mohammad Yamin begitu membenci Buya Hamka karena perbedaan ideologi. Ia aktif di Partai Nasionalis Indonesia (PNI), sedangkan Buya Hamka aktif di Partai Masyumi. PNI menginginkan Pancasila sebagai dasar negara, sementara Partai Masyumi berpegang teguh pada sikap ingin menjadikan Islam sebagai dasar negara. Kebencian Yamin tersulut, ketika dalam Sidang Majelis Konstituante, dengan lantang Buya Hamka berpidato dan mengatakan, “Bila negara kita ini mengambil dasar negara berdasarkan Pancasila, sama saja kita menuju jalan ke neraka!”
Pidato Buya Hamka yang tegas tersebut kemudian menyulut kebencian Mohammad Yamin. Ia menyuarakan kebenciannya kepada Hamka dalam berbagai kesempatan, baik ketika dalam ruang Sidang Konstituante, ataupun dalam berbagai acara dan seminar. “Rupanya bukan saja wajahnya yang memperlihatkan kebencian kepada saya, hati nuraninya pun ikut membeci saya,” begitu kata Buya Hamka.
Tahun 1962, Mohammad Yamin jatuh sakit dan dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat. Buya Hamka memantau perkembangannya lewat radio dan media massa cetak. Hingga tiba pada suatu hari, Chaerul Saleh, menteri di kabinet Soeharto menelponnya dan ingin menyampaikan kabar mengenai kesehatan Mohammad Yamin. Chaerul Saleh kemudian menagatakan kepada Hamka, “Buya, saya membawa pesan dari Pak Yamin. Beliau sakit sangat parah. Sudah berhari-hari dirawat. Saya sengaja menemui Buya untuk menyampaikan pesan dari Pak Yamin, mungkin merupakan pesan terakhir beliau,” ujarnya.
Hamka yang tertegun kemudian bertanya, “Apa pesannya?” Sang menteri itu kemudian mengatakan,”Pak Yamin berpesan agar saya menjemput Buya ke rumah sakit. Beliau ingin menjelang ajalnya, Buya dapat mendampinginya. Saat ini, pak Yamin dalam keadaan sekarat,”terangnya. Selain itu, kata sang menteri, “Beliau mengharapkan sekali, Buya bisa menemaninya sampai ke dekat liang lahatnya.” Kepada Buya Hamka, Menteri Chaerul Saleh itu juga mengatakan, Yamin khawatir, masyarakat Talawi, Sumatera Barat, tempatnya berasal, tidak berkenan menerima jenazahnya.
Mendengar penuturan Chaerul Saleh, saat itu juga Buya Hamka kemudian minta diantar ke RSPAD, tempat Yamin terbaring sakit. Melihat kedatangan Hamka, Yamin yang tergolek lemah kemudian melamabaikan tangan. Hamka mendekatinya, kemudian menjabat hangat tangannya. Yamin memegang erat tokoh yang dulu pernah dimusuhinya itu. Sementara Hamka terus membisikan ke telinga Yamin surat Al-Fatihah dan kalimat tauhid, “Laa ilaaha illallah.” Dengan suara lirih, Yamin mengikuti. Namun tak berapa lama, tangannya terasa dingin, kemudian terlepas dari genggaman Buya Hamka.
Mohammad Yamin menghembuskan nafas terakhirnya disamping sosok yang dulu menjadi seterunya. Di akhir hayat, tangan keduanya berpegangan erat, seolah ingin menghapuskan segala sengketa yang pernah ada. Orang yang hadir ketika itu mungkin terlibat dalam keharuan yang sangat. Memenuhi wasiat Yamin, Hamka pun kemudian turut mengantar jenazah salah seorang tokoh nasional itu sampai ke pembaringan terakhirnya.
Cerita terakhir adalah tentang Buya Hamka dan Pramoedya Ananta Toer. Keduanya berseberangan secara ideologi. Pram, sapaan akrab sastrawan itu, menyuarakan aspirasi kaum kiri dan aktif di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang dekat dengan PKI. Lewat rubrik Lentera di Surat Kabar Bintang Timoer, Pram dan kawan-kawannya tak henti-hentinya menyerang Hamka. Karya-karya novel Hamka dituding sebagai plagiat, pribadinya diserang sedemikian rupa. Fitnah dan penghinaan itu tak lain adalah karena Buya Hamka adalah seorang sastrawan yang anti Komunis, tokoh Muhammadiyah dan Masyumi.
Namun takdir perseteruan itu menemukan jalan ceritanya yang sungguh mengharukan. Suatu ketika, Astuti, putri Pramoedya mengutarakan keinginannya untuk menikah. Ia sudah menentukan calon pendamping bernama Daniel Setiawan. Pram tentu bersenang hati atas keinginan anaknya tersebut. Namun ada satu ganjalan di hatinya, sang calon menantu yang berasal dari peranakan etnis Tionghoa, ternyata berlainan keyakinan dengan putrinya. “Saya tidak rela anak saya kawin dengan orang yang secara kultur dan agama berbeda,” demikian ujar Pram, sebagaimana disampaikannya kepada Dr. Hoedaifah Koeddah, dokter yang mengobatinya dan dekat dengan keluarganya.
Singkat cerita, Pram kemudian meminta putri dan calon menantunya itu untuk datang menemui Buya Hamka, sosok ulama yang menjadi seterunya. Ia meminta calon menantunya itu untuk belajar Islam kepada Hamka. “Saya lebih mantap mengirimkan calon menantuku untuk diislamkan dan belajar agama pada Hamka, meski kami berbeda paham politik,” demikian Pram menjelaskan.
Bersama Astuti, sang calon menantu Pram itu kemudian mendatangi kediaman Buya Hamka. Ia menceritakan maksud kedatangan, agar Buya bersedia mengajarkan kekasihnya itu ajaran-ajaran Islam. Setelah itu, ia memperkenalkan diri sebagai anak dari Pramoedya Ananta Toer. Buya Hamka tertegun sejenak, raut wajahnya seperti ingin meneteskan air mata. Ia kemudian dengan ikhlas membimbing sejoli itu untuk belajar Islam. Tak lupa pula, ia menitipkan salam untuk ayah sang putri itu. Suasana begitu haru.
Astuti, putri Pramoedya itu tak menyangka, sosok yang dulu begitu dibenci oleh ayahnya, ternyata adalah lelaki yang bersahaja dan berlapang dada. Ia sungguh terharu, dan berterimakasih bisa diterima untuk menimba ilmu agama. Mereka kemudian larut dalam kehangatan dan melupakan segala dendam.
Begitulah sosok Buya Hamka. Ulama yang tegas dan bersahaja. Lelaki yang tak pernah memelihara dendam dalam hatinya, meski musuh yang begitu membencinya sudah tak berdaya. Ia berjiwa besar, berlapang dada, dan menganggap segala kebencian bisa sirna dengan saling memaafkan dan menebarkan cinta. Keteladanannya kini, tetap bersinar seperti mutiara…
Pesaing Risma mundur, Pilkada Surabaya Tahun 2017
Pemilihan wali kota dan wakil wali kota Surabaya secara resmi diundur hingga tahun 2017. Pasalnya, Haries Purwoko, pengusaha yang juga Ketua Organisasi Masyarakat Pemuda Pancasila, menyatakan mundur dari pencalonannya sebagai calon Wakil Wali Kota Surabaya dalam pemilihan tahun ini.
Selain itu, hingga batas akhir yang ditetapkan oleh KPU, yakni pukul 23.59 WIB, pasangan yang diusung PAN dan Demokrat itu belum menampakkan batang hidungnya.
Haries sebelumnya sudah hadir dan mendaftar di kantor KPU setempat, berpasangan dengan Ketua Harian KONI Jawa Timur Dhimam Abror. Haries tiba-tiba saja "menghilang" dari kantor KPU dan meninggalkan pasangannya itu pada Senin sore, 3 Agustus 2015.
Sebelumnya, keduanya datang bersama sejumlah pendukungnya dari koalisi Partai Demokrat dan PAN di menit-menit terakhir perpanjangan masa pendaftaran.
Ketua KPU Surabaya, Robiyan Arifin yang didampingi seluruh komisioner KPU beserta Panitia Pengawas Pemilu Kota Surabaya mengatakan proses pendaftaran di KPU tetap berlangsung sebagaimana mestinya. Akan tetapi, hingga batas waktu pukul 23.59 tidak muncul dari pasangan calon untuk melengkapi dokumennya.
Akhirnya, KPU menggelar pleno bersama Panwas yang didampingi semua komisioner. "Kemudian kami sepakat untuk membuat berita acara pengembalian berkas itu kepada pasangan calon," kata Robiyan saat jumpa pers dini hari, Senin, 3 Agustus 2015.
Menurut Robiyan, hanya ada satu pasangan calon yang memenuhi persyaratan, yaitu pasangan inkumben, Tri Rismaharini-Whisnu Sakti Buana, sehingga Surabaya menjadi salah satu daerah yang memiliki satu pasangan calon.
Sementara kelanjutannya, kata dia, KPU Kota Surabaya melakukan koordinasi dengan KPU pusat melalui KPU Jawa Timur, untuk tindak lanjut ke depannya. Namun berdasarkan peraturan KPU, pilkada yang hanya memiliki satu pasangan calon harus ditunda.
Sedangkan untuk teknisnya mereka masih menunggu hingga dua hari ke depannya. "Kami masih menunggu rujukan dari KPU pusat untuk dijadikan pegangan penyelenggaraan pilkada," kata dia.
Ketua Panitia Pengawas Pemilu Kota Surabaya, Wahyu Hariyadi, mengatakan inilah riil politik dinamika yang baru ditemui di Kota Surabaya, yang diakibatkan oleh pasangan calon yang tidak memenuhi persyaratan.
"Ada persyaratan yang tidak lengkap, yaitu tanda tangan wakil calon, Haries, sehingga kami sepakat untuk mengembalikan berkas dokumen itu," kata dia.
http://m.tempo.co/read/news/2015/08/04/058688957/pesaing-risma-mundur-pilkada-surabaya-diundur-2017
Fakta Tentang BPJS
1.BPJS bukanlah jaminan kesehatan bagi masyarakat.
Banyak masyarakat yang mengira bahwa BPJS adalah jaminan kesehatan dari pemerintah, padahal BPJS itu fungsinya tidak lebih dari asuransi.
BPJS didanai dari uang pribadi masyarakat, dimana masyarakat diminta menyetor sejumlah uang untuk dikumpulkan dan nantinya digunakan untuk biaya pengobatan.
BPJS menggunakan prinsip gotong-royong, seluruh uang yang disetorkan oleh seluruh anggotanya kemudian dihimpun oleh PT.BPJS dimana uang tersebut dialokasikan untuk membiayai pengobatan para anggota yang sedang sakit.
Ya semacam dana sumbangan dari masyarakat yang dikumpulkan secara massive oleh pemerintah dari rakyat untuk membiayai sebagian kecil rakyat yang sedang sakit.
*
2. BPJS adalah kamuflase pemerintah untuk menutupi penyelewengan dana subsidi BBM.
Banyak yang masyarakat yang mengira BPJS didanai dari pengalihan subsidi dari BBM ke bidang kesehatan.
Masyarakat lupa bahwa tiap bulannya mereka menyetor dana minimal Rp 25.000,-/bulan.
Peserta BPJS ditaksir kini mencapai 168 juta orang.
m.beritasatu.com/kesehatan/253202-akhir- tahun-peserta-bpjs-kesehatan-jadi-168- juta.html
Jadi dana BPJS yang dihimpun dari masyarakat oleh pemerintah mencapai lebih dari Rp.4,2Trilyun/bulan atau lebih dari Rp.50,4 Trilyun/ tahun.
Itu uang yang dikumpulkan langsung dari masyarakat, bukan dari sektor pajak atau pengalihan subsidi BBM.
*
3. BPJS merupakan sebuah BADAN USAHA yang fungsinya sebagai pengeruk keuntungan bagi Pemerintah, bukannya jaminan kesehatan yang dialokasikan dari dana APBN
Hal ini didasari dari jumlah dana yang berhasil dihimpun dari masyarakat oleh pemerintah yang totalnya lebih dari Rp.50,4 Trilyun, sementara total klaim yang dibayarkan oleh PT.BPJS selama satu tahun cuma Rp.37 Trilyun.
bandung.bisnis.com/m/read/20140101 /34231/476625/bpjs-kesehatan-klaim- setahun-bisa-tembus-rp37-triliun
Sementara sisa dana BPJS yang mencapai Rp.13,4Trilyun dikemanakan ????
Hmm… Ternyata selama ini PT.BPJS untung banyak lho…
*
4. Dengan adanya BPJS, pemerintah sama sekali tidak pernah memberikan jaminan kesehatan gratis kepada masyarakat.
Padahal selama ini pemerintah selalu menyebarkan propaganda bahwa BPJS adalah subsidi kesehatan gratis dari pemerintah.
Padahal pemerintah tidak mengeluarkan biaya sepeserpun untuk BPJS, dan BPJS itu pyur 100% dana dari masyarakat.
Jadi bohong banget kalau pemerintah mengklaim telah memberikan jaminan kesehatan gratis kepada masyarakat.
*
5. Dengan biaya iuran BPJS sebesar Rp.25.000,-/bulan seharusnya masyarakat memperoleh kualitas pelayanan kesehatan yang maksimum (First Class Service/VIP Class) di RS.
Namun karena PT.BPJS kini didaulat untuk menjadi Badan Usaha yang bertugas memberikan keuntungan sebesar-besarnya terhadap pemerintah, maka tidak heran bila pasien peserta BPJS banyak yang dibatasi penggunaan obatnya di RS.
BPJS tidak mengcover obat-obatan yang bermutu bagus, alhasil pasien cuma mendapatkan obat-obatan ala kadarnya.
*
6. BPJS adalah pesan nyata dari Pemerintah yang artinya “Masyarakat miskin tidak boleh sakit”.
Wajar bila kita berpendapat demikian, sebab tidak bisa kita pungkiri bahwa pelayanan kesehatan bagi peserta BPJS sangat jauh dari kelayakan.
Bayangkan saja bila pasien tidak ada uang untuk menebus resep obat yang tidak dicover oleh BPJS, mungkin bukan malah jadi sehat, pasien justru cuma bisa pasrah menahan sakit.
Apakah ini yang disebut dengan JAMINAN KESEHATAN..???
*
7. BPJS adalah bentuk pengingkaran terhadap UUD 1945 Perubahan, Pasal 34 ayat 2 yang menyebutkan bahwa negara wajib memberikan jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia.
*
8. Seharusnya dengan pengalihan subsidi BBM, masyarakat sudah bisa mendapatkan jaminan kesehatan bermutu prima tanpa harus melalui program BPJS.
Munculnya Calon Tunggal dalam Pilkada, menandakan bahwa Pesta Demokrasi Mulai Tidak Menarik
Rangkaian pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak
2015 yang diawali dengan pendaftaran para calon
memunculkan persoalan adanya pasangan calon
tunggal. Masalah tersebut menunjukkan ajang
pilkada tidak menarik lagi. "Meskipun pilkada yang sekarang ini sudah
direkayasa dengan digelar secara serentak tapi
nyatanya masih banyak calon tunggal. Itu
menandakan pilkada tidak menarik lagi," kata
pengamat politik dari Universitas Gajah Mada (UGM)
Arie Sujito kepada CNN Indonesia, Ahad (2/8). Arie menilai partai
politik telah gagal dalam
melakukan kaderisasi yang baik sehingga tidak
melahirkan banyak calon kepala daerah. "Partai
juga gagal dalam meyakinkan tentang perubahan
dirinya pada rakyat," ujarnya. "Calon
independen juga dipersulit untuk maju." Menurut Arie meskipun pilkada
sudah digelar
serentak namun tidak meningkatkan kualitas dan
mengubah sistem. "Hanya mengubah persoalan
teknis dengan dibuat bareng," ucap dia. Arie mengatakan dibuatnya
perpanjangan waktu
pendafataran oleh Komisi Pemilihan Umum agar
tidak adanya calon tunggal hanya sebagai solusi
jangka pendek sesaat yang terkesan dipaksakan. "Perpanjangan waktu itu
menyangkut soal teknis,
persoalan sebenarnya bukan masalah teknis,
kalaupun ditunda setahun kalau calonnya memang
belum ada bagaimana," tutur Arie yang mengaku
mengkhawatirkan adanya calon "boneka". Arie menepis anggapan munculnya
calon tunggal
karena waktu pendaftaran yang mepet.
"Persoalannya kalau memang orang tertarik
dengan pilkada maka sejak dulu-dulu sudah
mempersiapkan diri untuk mendaftar," kata Arie.
Mengenai perlu atau tidaknya diterbitkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu)
untuk daerah dengan pasangan calon kepala
daerah tunggal, menurut Arie sah-sah saja bila KPU
menghendaki adanya perppu.
Arie mengatakan perppu bagi KPU dibutuhkan
karena tak ingin ada kesulitan dalam
menyelenggarakan pilkada. "KPU pragmatis saja.
Kalau memang bisa menjamin kepastian hukum
supaya tidak persoalkan tak masalah. Kalau tidak
ada perppu asal ada jaminan bagi KPU juga tidak apa-apa. KPU posisinya
memang rentan," ujarnya. KPU menyebutkan hingga Ahad ini masih ada
sembilan daerah yang pasangan calonnya tunggal.
Hari ini hanya ada dua penambahan pendaftar di
dua daerah yakni di Kabupaten Pegunungan Arfak,
Papua Barat, dan Kota Mataram, Nusa Tenggara
Barat (NTB).
Adapun sembilan daerah yang masih memiliki
calon pasangan tunggal hingga hari ini pukul 15.00
WIB yaitu Kabupaten Blitar, Jawa Timur, Kabupaten
Purbalingga, Jawa Tengah, Kabupaten Tasikmalaya,
Jawa Barat, Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi
Utara, Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tengara Timur, Kota
Surabaya, Jawa Timur,
Kabupaten Asahan, Sumatera Utara, Kabupaten
Pacitan, Jawa Timur, dan Kota Samarinda,
Kalimantan Timur.
2015 yang diawali dengan pendaftaran para calon
memunculkan persoalan adanya pasangan calon
tunggal. Masalah tersebut menunjukkan ajang
pilkada tidak menarik lagi. "Meskipun pilkada yang sekarang ini sudah
direkayasa dengan digelar secara serentak tapi
nyatanya masih banyak calon tunggal. Itu
menandakan pilkada tidak menarik lagi," kata
pengamat politik dari Universitas Gajah Mada (UGM)
Arie Sujito kepada CNN Indonesia, Ahad (2/8). Arie menilai partai
politik telah gagal dalam
melakukan kaderisasi yang baik sehingga tidak
melahirkan banyak calon kepala daerah. "Partai
juga gagal dalam meyakinkan tentang perubahan
dirinya pada rakyat," ujarnya. "Calon
independen juga dipersulit untuk maju." Menurut Arie meskipun pilkada
sudah digelar
serentak namun tidak meningkatkan kualitas dan
mengubah sistem. "Hanya mengubah persoalan
teknis dengan dibuat bareng," ucap dia. Arie mengatakan dibuatnya
perpanjangan waktu
pendafataran oleh Komisi Pemilihan Umum agar
tidak adanya calon tunggal hanya sebagai solusi
jangka pendek sesaat yang terkesan dipaksakan. "Perpanjangan waktu itu
menyangkut soal teknis,
persoalan sebenarnya bukan masalah teknis,
kalaupun ditunda setahun kalau calonnya memang
belum ada bagaimana," tutur Arie yang mengaku
mengkhawatirkan adanya calon "boneka". Arie menepis anggapan munculnya
calon tunggal
karena waktu pendaftaran yang mepet.
"Persoalannya kalau memang orang tertarik
dengan pilkada maka sejak dulu-dulu sudah
mempersiapkan diri untuk mendaftar," kata Arie.
Mengenai perlu atau tidaknya diterbitkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu)
untuk daerah dengan pasangan calon kepala
daerah tunggal, menurut Arie sah-sah saja bila KPU
menghendaki adanya perppu.
Arie mengatakan perppu bagi KPU dibutuhkan
karena tak ingin ada kesulitan dalam
menyelenggarakan pilkada. "KPU pragmatis saja.
Kalau memang bisa menjamin kepastian hukum
supaya tidak persoalkan tak masalah. Kalau tidak
ada perppu asal ada jaminan bagi KPU juga tidak apa-apa. KPU posisinya
memang rentan," ujarnya. KPU menyebutkan hingga Ahad ini masih ada
sembilan daerah yang pasangan calonnya tunggal.
Hari ini hanya ada dua penambahan pendaftar di
dua daerah yakni di Kabupaten Pegunungan Arfak,
Papua Barat, dan Kota Mataram, Nusa Tenggara
Barat (NTB).
Adapun sembilan daerah yang masih memiliki
calon pasangan tunggal hingga hari ini pukul 15.00
WIB yaitu Kabupaten Blitar, Jawa Timur, Kabupaten
Purbalingga, Jawa Tengah, Kabupaten Tasikmalaya,
Jawa Barat, Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi
Utara, Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tengara Timur, Kota
Surabaya, Jawa Timur,
Kabupaten Asahan, Sumatera Utara, Kabupaten
Pacitan, Jawa Timur, dan Kota Samarinda,
Kalimantan Timur.
Subscribe to:
Posts (Atom)