Masih di Aming Coffee, tapi bukan lagi Tentang Kampanye Bersama,
Klaim,
Ini sebenarnya bukan tentang Caleg yang mengklaim, tapi sekelompok masyarakat yang menerka-nerka dengan keyakinan penuh tentang Caleg2 yang ada, sehingga keluarlah pernyataan bahwa yang akan terpilih adalah si A, si B atau si C, entah itu karena ketokohannya atau memang karena si caleg punya potensi untuk terpilih. Sebenarnya siapa saja yang terpilih adalah hak mutlak dari proses demokrasi tersebut. Proses Demokrasi yang puncaknya akan kita ikuti di tanggal 9 april mendatang. Dari coblosan kita tersebutlah “seharusnya” terpilih si A, si B atau si C. Menerka-nerka itu biasa, sama seperti komentator sepak bola, yang menilai dari kemampuan diluar lapangan saja. Tentu akan berbeda jika skor akhir telah diatur oleh para mafia, termasuklah pesta demokrasi ini. Keinginan para caleg untuk dapat terpilih menjadi wakil rakyat seharusnya juga didukung oleh masyarakat pemilih. Bukti dukungan tersebut dengan mencoblos caleg yang bersangkutan di bilik suara. Persoalan dasar untuk menimbang si caleg tersebut untuk dipilih dikembalikan kepada diri kita masing2. Tentu pilihan kita tersebut dengan pertimbangan yang masak2 pula.
Seorang teman bahkan mengisyarakatkan pilihan tersebut pada dasar2 keyakinan yang ia miliki. Sah-sah saja apalagi pemilu memberikan kebebasan kita untuk memilih, mau milih dengan dasar ganteng, cantik, imut, kaya, pintar dan lain sebagainya merupakan hak kita untuk menggunakan pilihan tersebut. Bisa juga caleg yang kita pilih merupakan kerabat dekat, teman, sepupu kakek, satu nenek moyang, sealmamater, atau teman ngopi doank. (keseringan ditraktir kopi, jadi gak enak buat gak milih yang bersangkutan :D) Namun terlepas dari pertimbangan tersebut, tentu kita juga menginginkan adanya perubahan selama 5 tahun yang akan datang pasca caleg tersebut menjabat.
Namun ada juga rekan yang memilih caleg berdasarkan komunikasi, enak tidaknya komunikasi tersebut tentu dibarengi dengan usaha untuk membuka komunikasi antara si caleg dan konstituennya. Seperti blusukan dan bagi2 kartu nama ala Jokowi-Ahok di Pilkada DKI Jakarta. Dan ada juga caleg yang rutin melakukan direct selling seperti sales. Berkunjung dari satu rumah ke rumah yang lainnya, dari gang ke gang, dari komplek ke komplek begitu seterusnya. Strategi ini juga dianggap sebagai upaya untuk mensosialisasikan si caleg ke calon konstituennya. Dan ada juga caleg yang hanya nongkrong di warung kopi, dari pagi, siang sampai malam. Silih berganti calon konstituen duduk bersamanya. Cara-cara tersebut menjadi pilihan yang objektif bagi caleg yang bersangkutan. Lagi-lagi pilihan kembali kepada diri kita masing-masing. Lalu bagaimana dengan pilihan anda?
Aming Coffee, Dalam Sepancong Kopi dan Sebatang Rokok Dunhill, 22 Januari 2014
0 comments:
Post a Comment