Seri Menyiapkan Desa (Bagian 5)
Merancang Tata Ruang Desa : Kejar Keadilan dan Keseimbangan
“Upaya dan inisiatif merancang bangun tata ruang desa (RTRW Desa) bukan dan jangan dilihat dengan cara pandang sempit sebagai euphoria masyarakat desa, namun sebetulnya lebih ditujukan untuk menata kembali ruang hidup yang masih tersisa demi mengurangi kerentanan konflik-konflik SDA dan mempercepat pemberdayaan serta kemandirian (masyarakat) desa. Mandiri desa-desa, mandiri pula Indonesia. Sukses desa-desa, sukseslah Indonesia”.
Momentum disahkannya UU Desa No.6 Tahun 2014 sejatinya telah mengembalikan pengakuan (entitlement) negara terhadap keberadaan desa. Sejarah menunjukkan mulai era kolonialisme hingga 10 tahun pasca reformasi, Desa seolah diluruhkan kekuatannya dan ditempatkan hanya sebagai obyek pembangunan. Kondisi lahan produktif di berbagai desa yang semakin hari semakin menyempit ditambah dengan tingkat kepadatan penduduk yang semakin tinggi berakibat pada berkurangnya kemampuan desa untuk menjanjikan perbaikan kualitas hidup warganya. Indonesia for Global Justice misalnya, melansir penyusutan lahan pertanian produktif karena alih fungsi ke non pertanian (perkebunan skala luas, pengembangan properti, dan sebagainya) bahkan mencapai 100 ribu hektar setiap tahunnya. Maka semakin banyak petani gurem bahkan bergeser menjadi buruh tani yang sama sekali tak memiliki lahan. Hal ini mengakibatkan berkurangnya jumlah petani di Indonesia sebanyak 5 juta rumah tangga petani dalam kurun waktu 10 tahun sejak 2003 sebanyak 31,17 juta rumah tangga petani menjadi 26,11 juta pada tahun 2013 (berdasarkan Sensus Pertanian mei 2013), hal ini berakibat produksi pangan nasional semakin menurun karena tak mampu mengimbangi pesatnya laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,49% per tahun. Faktanya kita masih terus impor komoditi pangan berupa beras, kedelai, jagung, dan holtikultura untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri.
Kondisi ini menyebabkan banyak petani pangan yang kemudian beralih pekerjaan ke sektor lain yang dianggap lebih menjanjikan perbaikan pendapatan sehingga muncul fenomena bertani tanaman pangan tak lagi menjadi pilihan utama mata pencaharian masyarakat desa, dampaknya arus urbanisasi dari pedesaan ke perkotaan semakin deras, bahkan banyak pula yang memilih menjadi tenaga kerja murah di luar negeri (TKI/TKW) sebagai alternatif dari tekanan struktural masyarakat desa. Karenanya, disinilah asumsi dan urgensi kedaulatan desa atas ruang ingin diletakkan.
Konsep Ruang sejatinya adalah konsep pembangunan yang holistik dengan pendekatan kewilayahan sebagaimana yang dimaksud dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Namun realitanya selama ini, penataan ruang lebih berorientasi pada pendekatan ‘macro economic-centris‘ yang kerapkali mengabaikan hak-hak masyarakat lokal atas wilayah kelola. Singkat kata UU Penataan Ruang ini lebih menganut pola top down.
Atas nama kepentingan investasi, lahan seringkali hanya dimaknai sebagai obyek eksploitasi tanpa memperhatikan keseimbangan dan keadilan serta hak asal-usul masyarakat lokal. Fakta menunjukkan bahwa praktek deforestrasi dan degradasi lahan dan hutan lebih banyak dipicu oleh eksploitasi sumber daya lahan secara ekstraktif dan berskala besar tanpa terkendali. Pada saat yang bersamaan, terjadi peningkatan investasi perusahaan perkebunan berskala luas yang dianggap sebagai komoditas strategis.
Peningkatan deras jumlah dan luas konsesi perijinan perkebunan skala luas yang semakin deras, massif dan tak terkendali (kebablasan) dalam kurun 15 tahun terakhir telah berdampak semakin banyak konflik-konflik agraria di berbagai daerah.
Praktek pengalokasian ruang yang terjadi selama ini kerapkali mengabaikan kepentingan masyarakat petani di desa dan penguatan ketahanan pangan, tak jarang konsesi perijinan dikeluarkan tanpa terlebih dahulu dilakukan koordinasi baik dengan aparatur desa maupun disosialisasikan sebelumnya ke warga desa, tiba-tiba saja perijinannya (bahkan HGU) sudah dikantongi tanpa sepengetahuan aparatur desa dan warga, seolah akses masyarakat terhadap penguasaan lahan jadi terabaikan dan terampas, bahkan ada konsesi yang diberikan juga masuk kawasan lahan pertanian pangan yang masih produktif untuk diusahakan oleh warga desa. Sebagai contoh konflik antara perusahaan dan masyarakat dalam investasi perkebunan berskala luas seringkali bersumber dari ketidakjelasan hak masyarakat dalam pola pembagian lahan bahkan perampasan lahan yang notabene telah secara turun temurun beraktifitas di atas lahan tersebut. Konflik–konflik agraria tersebut juga seringkali bersifat horisontal antar kelompok masyarakat yang pro dan kontra terhadap investasi oleh korporasi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa meluruhnya modal sosial masyarakat desa juga dipicu oleh praktek eksploitasi berskala besar tersebut sebagai akibat dari tekanan struktural yang meniadakan pilihan bagi masyarakat desa untuk berdaulat atas wilayahnya. Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat bahwa jumlah konflik di kawasan hutan dan perkebunan, mengalami peningkatan lebih dari tiga kali lipat (314%) sejak tahun 2009 hingga akhir 2013. Konflik-konflik tersebut dipicu mulai dari soal kompensasi, ketidakjelasan kepemilikan plasma, hingga soal batas-batas wilayah desa dalam satu atau lain kecamatan bahkan lain kabupaten.
Kita setuju dan sepakat bahwa investasi-investasi oleh korporasi memang dibutuhkan masuk dan hadir untuk menggerakkan kegiatan dan pertumbuhan ekonomi pedesaan, namun bila tanpa pembatasan dan pengendalian peruntukkan serta pemanfaatan ruang secara adil dan seimbang, maka akan terjadi penguasaan lahan oleh korporasi yang kebablasan hingga menggerus lahan pertanian pangan produktif (lahan cocok tanam turun temurun) dan ruang hidup lain seperti lahan pekarangan dan permukiman masyarakat bahkan ruang fasilitas sosial dan umum, yang berujung memicu konflik-konflik perebutan lahan di berbagai daerah semakin hari semakin meningkat dan mencuat ke permukaan yang juga tercermin derasnya gugatan warga desa atas Konsesi Ijin (perkebunan, HTI, pertambangan) dan HGU Korporasi. Bahkan persaingan antar korporasi (perusahaan) perkebunan yang konsesinya bersebelahan wilayah seringkali memicu konflik antar warga masyarakat karena saling berambisi untuk mencaplok konsesi lahan, kondisi ini tambah ribet ketika ternyata ada tumpang tindih konsesi perijinan yang dikeluarkan oleh pemkab baik seluruhnya maupun sebahagian sebagai salah satu dampak penerbitan ijin konsesi tanpa koordinasi dan sosialisasi secara meluas baik dengan aparatur desa maupun dengan warga masyarakat di desa-desa yang termasuk dalam konsesi ijin itu.
Peluang Menata Ruang Desa-Desa
Kelahiran Undang-undang Desa nomor 6 tahun 2014 yang disandarkan pada konsep pengakuan negara atas hak kelola wilayah dan hak asal-usul masyarakat desa semestinya menjadi momentum sebagai peluang untuk melakukan upaya dan langkah review (peng-inventarisasi-an, pengkajian, penataan ulang) secara mendalam dan sungguh-sungguh terhadap problem tata kelola ruang atas lahan dan hutan yang selama ini seringkali mengabaikan kearifan lokal yang bersumber dari hak-hak asal usul/hak tradisional di desa-desa. Pasal 83 ayat (3) Undang-undang Desa secara tersurat dan tersirat cukup jelas, dimana Desa berpeluang untuk melakukan penataan ruang secara mandiri mengalokasikan peruntukan lahan bagi peningkatan kualitas dan kesejahteraan masyarakat desa.
Dengan langkah menyusun desain tata ruang desa, masyarakat desa lebih memiliki akses dan berdaulat untuk menentukan peruntukkan lahannya. Tentu dengan berbagai nilai dan kearifan yang dimilikinya. Bahkan ketika dikaitkan dengan kepentingan atas keberlanjutan daya dukung lingkungan, kita masih yakin secara subyektif maupun obyektif bahwa kearifan lokal masyarakat desa dalam mengelola lahan masih cukup kuat dan rasional, untuk kemudian dapat memastikan agenda tersebut menjadi isu mainstream dalam penataan ruang desa.
Beranjak dari pemikiran tersebut, maka dalam konteks penataan ruang, sudah seharusnya masyarakat diberikan peluang untuk menentukan dan mengelola ruangnya sendiri. Tidak hanya sekedar memberikan kesempatan kepada masyarakat desa, namun juga memberikan jaminan agar penataan ruang tersebut dapat diakomodir oleh level pemerintahan diatasnya . Disinilah obyektifitas atas kehadiran Peraturan Desa tentang Tata Ruang desa menemukan signifikansinya sebagai basis proses perencanaan di tingkat desa maupun level pemerintahan diatasnya. Jadi urgensi memulai langkah awal dengan penyusunan rancangan tata ruang desa ini bisa dikatakan sebagai upaya mengejar keseimbangan atau keadilan dalam pemanfaatan sumber daya alam di desa-desa, secara vulgar nya bisa dikatakan paling tidak, ada peluang bagi warga desa untuk mengelola ruang hidup yang masih tersisa (belum dieksploitasi) secara fisik yang belum diberikan konsesi ijin lahan maupun ruang yang sudah ada konsesi ijin namun masih terlantar dan atau diterlantarkan, demi mengejar keadilan dan keseimbangan dalam penguasaan sumber daya alam. Jadi bukan berarti penataan ruang desa dilakukan secara serampangan apalagi dengan dorongan euphoria arogansi lokal semata, namun lebih mencari jalan tengah dan solusi yang mampu memberi keseimbangan dalam penguasaan lahan antara korporasi dan wilayah kelola masyarakat. Dalam konteks ini tentu peran pemerintah supra desa (terutama pemkab dan pemprov) sangat dibutuhkan mampu berperan terdepan menjalankan fungsi mediasi (mediator) dalam upaya mencari solusi bijak sebagai langkah mengejar rasa keadilan sekaligus menjaga daya dukung ekologis untuk kehidupan berkelanjutan di pedesaan. Minimal dengan mengerem langkah perluasan lahan yang sudah kebablasan baik melalui mekanisme skema review perijinan maupun instrumen penyusunan Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi dan Kabupaten, untuk tetap mempertahankan menjadi wilayah kelola masyarakat di sektor pertanian pangan, holtikultura, peternakan, perikanan, komoditi perkebunan rakyat (karet, kopi, tebu dll). Minimal untuk kawasan pusat pemukiman warga di tiap desa tetap dibentengi (buffer zone) kawasan lahan pertanian pangan abadi dan pencadangannya, kawasan pencadangan pemukiman, pencadangan fasilitas umum dan sosial masyarakat untuk jangka panjang.
Menjaga keseimbangan dan keadilan dalam penguasaan sumber daya alam sangat penting untuk menstabilkan kondisi kehidupan rakyat di desa-desa agar tak mengalami ketidakberdayaan maka sangat mendesak untuk memberi solusinya. Disinilah letak urgensinya RTRW Desa linier dengan pengakuan negara terhadap hak asal usul dan tradisional masyarakat yang tersurat dan tersirat dalam pasal 18b UUD 1945 dan UU Desa Nomor 6 Tahun 2014 ini berikut PP 43/2014 yang menyebut dengan jelas dan tegas terminologi “Tata Ruang Desa” sebagaimana bunyi ketentuan pasal 125 ayat 2 dan 3.
Kemauan Politik dan Solusi Konflik
UU Desa No.6 tahun 2014 secara eksplisit mendudukan pengakuan negara terhadap Desa. Dengan demikian secara mutatis mutandis juga memberi peluang dan hak kepada Desa untuk menentukan dan menata ruang sendiri sebagai wujud mengatur dan melindungi kepentingan masa depan warga desa. Termasuk mengamankan aset dan kekayaan desa bagi kehidupan berkelanjutan dan keseimbangan dalam pemanfaatan ruang terkait dengan penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam (tata kelola lahan dan hutan).
Terlepas dari itu, sikap dan langkah proaktif desa-desa untuk mulai menyusun rancangan Tata Ruang Desa melalui instrumen Perdes RTRW Desa perlu mulai dijalankan dan disikapi secara positif oleh pemerintah supra desa karena selain memiliki pijakan dasar melalui UU Desa dan peraturan pelaksanaanya sekaligus menjadi ajang penyampaian aspirasi masyarakat desa-desa untuk dirembugkan atau disinkronisasi-kan dalam alur proses agenda Penyusunan dan Penetapan Revisi RTRW Kabupaten-kabupaten (induk maupun kabupaten pemekaran) yang masih berpeluang dilakukan penyesuaian karena belum final dan disahkan sambil menunggu RTRW Provinsi ditetapkan/disahkan secara definitif dan mempunyai kekuatan berlaku mengikat. Penyusunan rancangan Tata Ruang Desa juga setidaknya akan mendorong percepatan dan memotivasi antar desa-desa bersebelahan untuk segera menyelesaikan dengan jalan musyawarah mencari win-win solution kesepakatan batas antar desa.
Kita memaklumi kehadiran Undang-undang Desa yang baru berumur belum setahun ini, memang butuh proses yang tak singkat untuk memahami paradigma baru atas desa. Alih-alih memberikan transformasi atas agenda pembaharuan desa, para elit politik justru diharapkan jangan hanya menjadikan undang-undang desa sebagai instrumen politis saja yang akibatnya UU desa kemudian dipandang sebagai agenda yang berhenti pada alokasi anggaran untuk desa semata. Sehingga gaung isunya di masyarakat desa setakat ini seolah hanya terfokus pada besaran dana 1 Milyar per desa. Padahal agenda untuk meletakkan pengakuan sejati negara atas desa semestinya dibarengi dengan upaya reaktualisasi desa di berbagai sektor. Dan dalam konteks ini, kedaulatan desa dalam menata ruang termasuk agenda pembaharuan desa yang mendasari itu semua sebagai bagian per-hulu-an dengan memulai langkah konkrit mengejar keadilan dan keseimbangan dalam penguasaan sumber daya alam yang linier dengan upaya percepatan pengurangan kemiskinan dan peningkatan taraf hidup rakyat banyak di pedesaan. Maka UU Desa semestinya dimaknai sebagai regulasi reformis (pro rakyat banyak) yang akan menjadi dasar utama bagi upaya advokasi kemandirian desa. Karena itu undang-undang yang tidak berpihak sudah seharusnya untuk direview oleh kepemimpinan nasional (Presiden bersama DPR) termasuk namun tak terbatas hanya UU Penataan Ruang saja. Semoga.
Penulis : Bung Muda Mahendrawan
*) Penulis Pendiri Institut Indonesia Moeda, profesi Notaris dan PPAT
0 comments:
Post a Comment