Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Showing posts with label GerbangDesa. Show all posts
Showing posts with label GerbangDesa. Show all posts

Seri Menyiapkan Desa 6 : Seputar Problem Penyaluran Dana Desa

Seri Menyiapkan Desa (Tulisan 6)

SEPUTAR PROBLEM PENYALURAN DANA DESA
(TANTANGAN DAN SOLUSI)

“Proses Perencanaan dan Penatausahaan Birokrasi  Pemkab dalam Penyaluran Alokasi Dana ke Desa-Desa baik dari APBN (3 tahap) dan APBD (2 tahap) mesti menjamin ketepatan waktu dan kelancaran pencairannya agar menghindari  keterlambatan pelaksanaan program kegiatan  fisik dan non fisik atau minimnya daya serap anggaran dan realisasi kegiatan dari APBDesa, berakibat  peluang mempercepat pemenuhan kebutuhan dasar yang mendesak untuk perbaikan kualitas hidup di desa-desa jadi terkendala, bahkan berpotensi jadi celah penyimpangan dalam pelaksanaannya”                                                                   
UU Desa no 6 Tahun 2014 berikut PP 43 dan PP 60 Tahun 2014 sebagai pengaturan pelaksanaannya, telah membawa konsekuensi akan mengalirnya anggaran dana ke desa dari pusat (APBN) yang pehitungannya disesuaikan dengan indeks jumlah penduduk, luas wilayah, rata-rata tingkat kemiskinan, dan tingkat kesulitan geografis (akses infrastruktur, sarana prasarana, jangkauan wilayah), mekanisme dana itu akan ditransfer dulu ke rekening kas daerah (pemkab) baru setelah itu akan disalurkan ke rekening kas desa-desa jika APBDesa telah ditetapkan dan dievaluasi oleh Pemkab (Bupati melalui Badan Pemdes), pengucuran tidak sekaligus tapi 3 tahap yakni tahap kesatu pada minggu ke II April 40% , tahap kedua pada minggu kedua Agustus 40%, dan tahap ketiga pada minggu kedua November 20%. Ini baru yang bersumber dari pusat, sedangkan yang dari APBD yakni ADD yang konkritnya hampir 7 tahun ini telah dianggarkan ke desa-desa (melalui PP 72/2005 tg ADD) tetap  wajib dianggarkan dan disalurkan oleh Pemkab sesuai jumlah yang ditentukan dalam Peraturan Bupati ttg penetapan besaran ADD tiap desa seperti selama ini (rata-rata 100 juta sampai 250 juta per desa) tiap tahun. Ini masih ditambah lagi dengan pendapatan dari Bagian dari Bagi Hasil Pajak dan Retribusi Daerah yang juga wajib ditetapkan Bupati melalui Perbup dan sumber dari Pendapatan Asli Desa (PADes) sendiri. 

Inilah 4 komponen sumber keuangan yang pasti akan masuk ke desa mulai tahun depan (2015) sesuai perintah dan amanat UU Desa dan PP nya. Sedangkan sumber dari bantuan keuangan pempus, pemprov,pemkab, dan sumber hibah tidak mengikat dari pihak lainnya bersifat tidak mutlak (belum pasti dialokasikan). Berarti setidaknya proses penyaluran alokasi anggaran dari pemkab ke rekening kas desa dalam setahun anggaran minimal dilakukan dalam 5 kali  tahap pencairan yakni dari APBN 3 kali tahap pencairan dan dari ADD 2 tahap. Kondisi ini tentu membutuhkan komitmen kinerja pemkab lebih serius dan fokus untuk menjamin proses penyaluran dana ke rekening kas desa-desa pada tiap tahapan tidak mengalami kendala teknis dan keterlambatan terlalu jauh.

Seperti telah ditegaskan di tulisan sebelumnya, Implementasi UU Desa dengan seluruh agenda yang mesti berjalan tak semata hanya menuntut kesiapan dari Aparatur Desa (Kades, BPD, perangkat desa) saja baik kompetensi, ketrampilan, pemahaman persepsi yang tepat, namun juga sangat penting  menuntut kesiapan dari Aparatur Birokrasi di Pemkab, terutama birokrasi di Badan Pemdes, para Camat dan staf kecamatan, SKPD di Sekretariat Daerah (Asisten I dan Kabag Hukum), Dinas Pendapatan dan Keuangan, Inspektorat, termasuk Bappeda. Mengapa demikian ?

 Informasi KUA-PPAS ke Desa-desa (pra RAPB Desa)

Karena dimulai dari alur proses Perencanaan pembangunan dimana Desa-Desa sudah harus mendapatkan informasi dari Pemkab melalui Bappeda atas dokumen Kebijakan Umum Anggaran dan Penetapan Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) tahun berikutnya paling lama 10 hari setelah disetujui bersama oleh Bupati dan DPRD. 

Pertama, karena dalam KUA-PPAS itu akan bisa terlihat dan tergambar jumlah besaran indikatif dari ADD dan BHP-RD meskipun baru angka pagu indikatif namun setidaknya desa-desa mengetahui besarannya (tetap atau bertambah) sehingga desa bisa masukkan ancer-ancer angka pagu indikatif di pos komponen pendapatan dari ADD dan BHP-RD diluar dari Dana Anggaran Desa yang dari APBN (pusat). 

Kedua, melalui KUA-PPAS itu desa-desa baru bisa menyusun Rancangan APBDesa masing-masing karena akan terlihat jelas Program dan Kegiatan dari seluruh Dinas (SKPD) di Pemkab baik Fisik dan Non Fisik, terutama insfrastruktur dasar sehingga bisa diketahui Program dan Kegiatan apa saja yang akan masuk melalui APBD Kabupaten ke tiap desa agar menghindari duplikasi atau tumpang tindih anggaran dan kewenangan yang menjadi celah potensi penyimpangan bahkan celah dan peluang manipulasi kegiatan di lapangan. 

Jika dokumen KUA-PPAS  telah diterima Pemerintah Desa bisa menyusun rancangan program dan kegiatan sesuai RPJMDesa dan RKPDesa yang tidak dianggarkan di APBD kabupaten namun dalam kategori yang menjadi  Kewenangan Desa (kewenangan berdasarkan asal usul dan kewenangan berskala lokal desa)  sesuai Perbup Daftar Kewenangan Desa yang harus  disusun bersama dan diterbitkan oleh pemkab dengan terlebih dulu mengagendakan penyusunan daftar kewenangan desa bersama-sama seluruh kepala desa dan ketua BPD sebagaimana tulisan Seri Pencerahan Desa bagian 1 yang lalu . 

Jadi KUA-PPAS menjadi bahan penting dan mendasar untuk pijakan desa bisa menyusun rancangan APBDesa. Sedangkan Dalam PP 43 Tahun 2014 pasal 101 telah ditegaskan bahwa Rancangan Perdes APBDesa telah disepakati Kades bersama BPD paling lambat akhir Oktober tahun berjalan, ketentuan ini bermaksud memberikan waktu yang cukup (sekitar 2 bulan) bagi pemerintah desa untuk antisipasi agar penetapan APBDesa tidak sampai melampaui batas waktu 31 Desember (terlambat).  

Di sisi lain berkaca pada perjalanan otonomi daerah selama ini,  di banyak kabupaten agenda pembahasan dan kesepakatan KUA-PPAS tahun anggaran berikutnya oleh Pemkab bersama DPRD  seringkali mengalami keterlambatan dari jadwal sesuai ketentuan. 

Kalau  sekarang terkait dengan Implementasi UU Desa berarti dokumen KUA-PPAS untuk RAPBD Tahun 2015 harus telah disampaikan oleh Pemerintah Kabupaten (melalui Bappeda ke para camat) ke seluruh Pemerintah Desa, agar Kades dan BPD bisa segera menyiapkan Rancangan APBDesa dengan terlebih dahulu melaksanakan Musyawarah untuk Revisi RPJMDesa dan dilanjutkan agenda penyusunan RKPDesa, sehingga waktu yang tersisa tinggal 2 bulan ke depan Perdes APBDesa 2015 bisa dikejar untuk ditetapkan sebelum batas akhir 31 Desember tahun ini. Jadi jika APBDesa ke depan terlambat ditetapkan tentu akan berpengaruh langsung pada proses penyaluran alokasi dana ke desa-desa karena akan dilanjutkan proses teknis penatausahaan di internal birokrasi (evaluasi dan verifikasi) sebelum bisa disalurkan.

Perbaiki SOP dan Komitmen Kinerja Lebih Fokus Efektif

Untuk itulah Pemkab disini juga dituntut mesti menyiapkan untuk menjalankan kinerja pelayanan lebih optimal terutama terkait dengan proses penyaluran uang dana desa ke rekening kas desa baik sumber dari APBN Pusat dan dari ADD. Mengingat pengalaman empiris penyaluran ADD saja selama ini seringkali juga koreksi, evaluasi dan penelaahan dan verivikasi  tak jarang terjadi perbedaan persepsi antara Dinas/SKPD terkait di internasl birokrasi (antara Badan Pemdes, Sekretariat Daerah, Keuangan) bahkan tak jarang Peraturan Bupati dan Surat Keputusan yang harus diterbitkan sebagai dasar  payung hukum untuk proses pencairan ADD terlambat karena harus memakan waktu cukup lama dan lambat dari meja ke meja apalagi kalau sampai berkasnya bolak balik yang terkadang justru bukan pada soal substansi nya melainkan hanya soal tata naskah dan titik koma (seputar problem remeh temeh) akibat penyakit klasik birokrasi yang masih berkutat pada pendekatan arogansi dan sikap ego antar Dinas/SKPD satu sama lain. 

Kelancaran proses penyaluran dana desa ini menjadi penting karena  menghindari keterlambatan dalam proses realisasi/penggunaan dalam pelaksanaan program kegiatan yang telah dianggarkan dalam kebijakan APBDesa, apalagi dengan kewenangan desa mengelola anggaran cukup besar, secara otomatis jumlah dan jenis program kegiatan akan semakin banyak item belanja langsung maupun tak langsung yang harus direalisasikan dan dipertanggungjawabkan oleh aparat pemerintah desa, sehingga akan langsung berdampak daya serap anggaran yang minim dan lambat sementara untuk proses pencairan tahap ke 2 misalnya umumnya disyaratkan daya serap/realisasi dari anggaran yang telah dicairkan pada tahap 1 setidaknya harus 90% nya telah terealisasi, jika pada tahap 1 penyaluran nya ke rekening desa telah terlambat cukup lama dikhawatirkan akan menjadi kendala untuk proses pencairan tahap berikutnya (tahap 2 dan 3) yang akhirnya cukup besar anggaran yang tidak bisa direalisasikan/diserap yang juga menyebabkan jumlah SILPA (sisa lebih perhitungan anggaran) yang besar dan tidak wajar, meski SILPA bisa digunakan untuk kegiatan tertunda di tahun anggaran berikutnya namun peluang untuk mempercepat perbaikan kualitas hidup warga jadi terhambat, sementara banyak kebutuhan dasar masyarakat sangat mendesak yang mestinya bisa direalisasikan jadi tertunda. 

Kondisi ini tak jarang juga bisa menimbulkan kondisi kurang kondusif di desa, sebab ketika APBDesa sudah ditetapkan melalui Kades bersama BPD maka warga desa tentu sangat berharap bisa direalisasikan terkait dengan belanja pembangunan/masyarakat baik fisik dan non fisik, perlu dimaklumi  warga desa umumnya kurang memahami hal ihwal mekanisme teknis proses pencairan dana desa, sementara di desa-desa suasana politik lokal justru lebih tajam dan sensitif muncul. 

Di sisi lain, SILPA yang terlalu besar dan tidak wajar juga bisa berpotensi menjadi celah penyimpangan dalam tata kelola keuangan desa. Kondisi seperti ini perlu diantisipasi agar tak banyak menimbulkan kendala serius dalam implementasinya ke depan.

Solusinya, pemkab melalui dinas-dinas terkait (forum SKPD) dituntut untuk menyiapkan diri dengan mendesian SOP (standar operasional prosedur) untuk implementasi proses tata kelola anggaran dana desa yang lebih memberikan jaminan kelancaran dan sistem lebih efektif serta tidak harus berlarut atau stagnan namun tanpa mengurangi tingkat kehati-hatian dan ketelitian dalam proses koreksi, evaluasi dan verivikasi nya. Setidaknya bisa lebih dipastikan target kinerja masing-masing SKPD yang menangangi baik target jangka waktu (berapa hari tiap meja SKPD) untuk koreksi, evaluasi dan verivikasinya, seperti best practice nya Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). 

SOP dimaksud dibahas dan dirembukkan serta disepakati bersama yang akan menjadi produk Peraturan Bupati.   

Disamping itu tak kalah penting adalah upaya kepala daerah sendiri untuk membangun suatu kesamaan persepsi terhadap Agenda Pembaruan Desa sebagaimana amanat UU Desa yang telah mengakui hak dan kewenangan desa untuk merencanakan dan mengelola anggaran sesuai kebutuhan mendesak dan prioritas bagi percepatan mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kualitas hidup rakyat banyak yang berada di pedesaan. 

Kepala Daerah bersama-sama seluruh jajaran SKPD birokrasi pemkab tak boleh lagi memandang desa hanya sebagai “obyek” pembangunan saja seperti cara pandang masa lalu, melainkan sebagai sebuah Entitas dan Subyek yang harus diakui dan diberikan peluang untuk bisa berdaya dan mandiri. Pendekatan dan cara pandang klasik pejabat publik maupun birokrasi yang masih cenderung berprilaku arogan dan feodal harus mulai jauh-jauh ditinggalkan, perlu ada revolusi mindset. 

Sekali lagi perlu dipahami dan diingat bersama, anggaran dana desa baik dari APBN maupun ADD dari APBD  merupakan HAK Desa-Desa dan bukanlah BANTUAN ke Desa-Desa, maka bagaimanapun semua elit politik dan birokrasi baik pusat dan daerah wajib mengawal dan memastikan anggaran itu dapat tersalurkan dengan lancar dan tepat waktu ke rekening kas desa. 

Disisi lain seluruh aparatur desa dituntut pula komitmennya untuk menyiapkan diri dengan berupaya melatih dan meningkatkan kompetensi dan kinerja dalam mengelola anggaran desa dengan prinsip terbuka dan bisa dipertangungjawabkan (transparan dan akuntabel) penggunaannya sesuai  ketentuan dan tepat waktu dalam pelaksanaan kegiatan, maka seluruh stake holder di desa perlu memperkuat ruang keteribatan (partisipasi) di semua alur proses mulai dari musyawarah perencanaan, pelaksanaan terlebih dalam pengawasan realisasi APBDesa dan evaluasi serta pertanggungjawaban, pengawasan terbaik justru dari seluruh rakyat desa itu sendiri sebagai pihak yang menerima serta merasakan langsung dampak dari program kegiatan ke desa-desa yang bersumber dari APBDesa, APBD Kabupaten, Provinsi dan APBN. Seluruh elit desa dan warga desa (terutama generasi muda terdidik sebagai tanggung jawab intelektual) mesti sigap,  bersikap proaktif mengawal, jangan bersikap apatis, skeptis bahkan menyia-nyiakan peluang untuk bisa mempercepat proses perbaikan kualitas hidup seluruh rumah tangga di desa sekaligus mengurangi kesenjangan hidup antara perkotaan dan pedesaan. Singkatnya, jangan terlalu banyak proses ‘pembiaran-pembiaran’ ke depan. Semoga.

Penulis : Bung Muda Mahendrawan, Pendiri Institut Indonesia Moeda
  

Seri Menyiapkan Desa 5 : Merancang Tata Ruang Desa

Seri Menyiapkan Desa (Bagian 5)

Merancang Tata Ruang Desa : Kejar Keadilan dan Keseimbangan  

“Upaya dan inisiatif merancang bangun tata ruang desa (RTRW Desa) bukan dan jangan dilihat dengan cara pandang sempit sebagai euphoria masyarakat desa, namun sebetulnya lebih ditujukan  untuk menata kembali ruang hidup yang masih tersisa demi mengurangi kerentanan konflik-konflik SDA dan mempercepat pemberdayaan serta kemandirian (masyarakat) desa. Mandiri desa-desa, mandiri pula Indonesia. Sukses desa-desa, sukseslah Indonesia”.

Momentum disahkannya UU Desa No.6 Tahun 2014 sejatinya telah mengembalikan pengakuan (entitlement) negara terhadap keberadaan desa. Sejarah menunjukkan mulai era kolonialisme hingga 10 tahun pasca reformasi, Desa seolah diluruhkan kekuatannya dan ditempatkan hanya sebagai obyek pembangunan. Kondisi lahan produktif di berbagai desa yang semakin hari semakin menyempit ditambah dengan tingkat kepadatan penduduk yang semakin tinggi berakibat pada berkurangnya kemampuan desa untuk menjanjikan perbaikan kualitas hidup warganya.  Indonesia for Global Justice misalnya, melansir penyusutan lahan pertanian produktif karena alih fungsi ke non pertanian (perkebunan skala luas, pengembangan properti, dan sebagainya) bahkan mencapai 100 ribu hektar setiap tahunnya. Maka semakin banyak petani gurem bahkan bergeser menjadi buruh tani yang sama sekali tak memiliki lahan. Hal ini mengakibatkan berkurangnya jumlah petani di Indonesia sebanyak 5 juta rumah tangga petani dalam kurun waktu 10 tahun sejak 2003 sebanyak 31,17 juta rumah tangga petani menjadi 26,11 juta pada tahun 2013 (berdasarkan Sensus Pertanian mei 2013), hal ini berakibat produksi pangan nasional semakin menurun karena tak mampu mengimbangi pesatnya laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,49% per tahun. Faktanya kita masih terus impor komoditi pangan berupa beras, kedelai, jagung, dan holtikultura untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri. 
Kondisi ini menyebabkan banyak petani pangan yang kemudian beralih pekerjaan ke sektor lain yang dianggap lebih menjanjikan perbaikan pendapatan sehingga muncul fenomena bertani tanaman pangan tak lagi menjadi pilihan utama mata pencaharian masyarakat desa, dampaknya arus urbanisasi dari pedesaan ke perkotaan semakin deras, bahkan banyak pula yang memilih menjadi tenaga kerja murah di luar negeri (TKI/TKW) sebagai alternatif dari tekanan struktural masyarakat desa. Karenanya, disinilah asumsi dan urgensi kedaulatan desa atas ruang ingin diletakkan.
Konsep Ruang sejatinya adalah konsep pembangunan yang holistik dengan pendekatan kewilayahan sebagaimana yang dimaksud dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Namun realitanya selama ini, penataan ruang lebih berorientasi pada pendekatan ‘macro economic-centris‘ yang kerapkali mengabaikan hak-hak masyarakat lokal atas wilayah kelola. Singkat kata UU Penataan Ruang ini lebih menganut pola top down. 

Atas nama kepentingan investasi, lahan seringkali hanya dimaknai sebagai obyek eksploitasi tanpa memperhatikan keseimbangan dan keadilan serta hak asal-usul masyarakat lokal. Fakta menunjukkan bahwa praktek deforestrasi dan degradasi lahan dan hutan lebih banyak dipicu oleh eksploitasi sumber daya lahan secara ekstraktif dan berskala besar tanpa terkendali.  Pada saat yang bersamaan, terjadi peningkatan investasi perusahaan perkebunan berskala luas yang dianggap sebagai komoditas strategis. 
Peningkatan deras jumlah dan luas konsesi perijinan perkebunan skala luas  yang semakin deras, massif dan tak terkendali (kebablasan) dalam kurun 15 tahun terakhir telah berdampak semakin banyak konflik-konflik agraria di  berbagai daerah.

Praktek pengalokasian ruang yang terjadi selama ini kerapkali mengabaikan kepentingan masyarakat petani di desa dan penguatan ketahanan pangan, tak jarang konsesi perijinan dikeluarkan tanpa terlebih dahulu dilakukan koordinasi baik dengan aparatur desa maupun disosialisasikan sebelumnya ke warga desa, tiba-tiba saja perijinannya (bahkan HGU) sudah dikantongi tanpa sepengetahuan aparatur desa dan warga, seolah akses masyarakat terhadap penguasaan lahan jadi terabaikan dan terampas, bahkan ada konsesi yang diberikan juga masuk kawasan lahan pertanian pangan yang masih produktif untuk diusahakan oleh warga desa. Sebagai contoh konflik antara perusahaan dan masyarakat dalam investasi perkebunan berskala luas seringkali bersumber dari ketidakjelasan hak masyarakat dalam pola pembagian lahan bahkan perampasan lahan yang notabene telah secara turun temurun beraktifitas di atas lahan tersebut. Konflik–konflik agraria tersebut juga seringkali bersifat horisontal antar kelompok masyarakat yang pro dan kontra terhadap investasi oleh korporasi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa meluruhnya modal sosial masyarakat desa juga dipicu oleh praktek eksploitasi berskala besar tersebut sebagai akibat dari tekanan struktural yang meniadakan pilihan bagi masyarakat desa untuk berdaulat atas wilayahnya. Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat bahwa jumlah konflik di kawasan hutan dan perkebunan, mengalami peningkatan lebih dari tiga kali lipat (314%) sejak tahun 2009 hingga akhir 2013.  Konflik-konflik tersebut dipicu mulai dari soal kompensasi, ketidakjelasan kepemilikan plasma, hingga soal batas-batas wilayah desa dalam satu atau lain kecamatan bahkan lain kabupaten.

Kita setuju dan sepakat bahwa investasi-investasi oleh korporasi memang dibutuhkan masuk dan hadir untuk menggerakkan kegiatan dan pertumbuhan ekonomi pedesaan, namun bila tanpa pembatasan dan pengendalian peruntukkan serta pemanfaatan ruang secara adil dan seimbang, maka akan terjadi penguasaan lahan oleh korporasi yang kebablasan hingga menggerus lahan pertanian pangan produktif (lahan cocok tanam turun temurun) dan ruang hidup lain seperti lahan pekarangan dan permukiman masyarakat bahkan ruang fasilitas sosial dan umum, yang berujung memicu konflik-konflik perebutan lahan di berbagai daerah semakin hari semakin meningkat dan mencuat ke permukaan yang juga tercermin derasnya gugatan warga desa atas Konsesi Ijin (perkebunan, HTI, pertambangan) dan HGU Korporasi. Bahkan persaingan antar korporasi (perusahaan) perkebunan yang konsesinya bersebelahan wilayah seringkali memicu konflik antar warga masyarakat karena saling berambisi untuk mencaplok konsesi lahan, kondisi ini tambah ribet ketika ternyata ada tumpang tindih konsesi perijinan yang dikeluarkan oleh pemkab baik seluruhnya maupun sebahagian sebagai salah satu dampak penerbitan ijin konsesi tanpa koordinasi dan sosialisasi secara meluas baik dengan aparatur desa maupun dengan warga masyarakat di desa-desa yang termasuk dalam konsesi ijin itu.

Peluang Menata Ruang Desa-Desa

Kelahiran Undang-undang Desa nomor 6 tahun 2014 yang disandarkan pada konsep pengakuan negara atas hak kelola wilayah dan hak asal-usul masyarakat desa semestinya menjadi momentum sebagai peluang untuk melakukan upaya dan langkah review (peng-inventarisasi-an, pengkajian, penataan ulang) secara mendalam dan sungguh-sungguh terhadap problem tata kelola ruang atas lahan dan hutan yang selama ini seringkali mengabaikan kearifan lokal yang bersumber dari hak-hak asal usul/hak tradisional di desa-desa. Pasal 83 ayat (3) Undang-undang Desa secara tersurat dan tersirat cukup jelas, dimana Desa berpeluang untuk melakukan penataan ruang secara mandiri mengalokasikan peruntukan lahan bagi peningkatan kualitas dan kesejahteraan masyarakat desa.

Dengan langkah menyusun desain tata ruang desa, masyarakat desa lebih memiliki akses dan berdaulat untuk menentukan peruntukkan lahannya. Tentu dengan berbagai nilai dan kearifan yang dimilikinya. Bahkan ketika dikaitkan dengan kepentingan atas keberlanjutan daya dukung lingkungan,  kita masih yakin secara subyektif maupun obyektif bahwa kearifan lokal masyarakat desa dalam mengelola lahan masih cukup kuat dan rasional, untuk kemudian dapat memastikan agenda tersebut menjadi isu mainstream dalam penataan ruang desa.

Beranjak dari pemikiran tersebut, maka dalam konteks penataan ruang, sudah seharusnya masyarakat diberikan peluang untuk menentukan dan mengelola ruangnya sendiri. Tidak hanya sekedar memberikan kesempatan kepada masyarakat desa, namun juga memberikan jaminan agar penataan ruang tersebut dapat diakomodir oleh level pemerintahan diatasnya . Disinilah obyektifitas atas kehadiran Peraturan Desa tentang Tata Ruang desa menemukan signifikansinya sebagai basis proses perencanaan di tingkat desa maupun level pemerintahan diatasnya. Jadi urgensi memulai langkah awal dengan penyusunan rancangan tata ruang desa ini bisa dikatakan sebagai upaya mengejar keseimbangan atau keadilan dalam pemanfaatan sumber daya alam di desa-desa, secara vulgar nya bisa dikatakan paling tidak, ada peluang bagi warga desa untuk mengelola ruang hidup yang masih tersisa (belum dieksploitasi) secara fisik yang belum diberikan konsesi ijin lahan maupun  ruang yang sudah ada konsesi ijin namun masih terlantar dan atau diterlantarkan, demi mengejar keadilan dan keseimbangan dalam penguasaan sumber daya alam. Jadi bukan berarti penataan ruang desa dilakukan secara serampangan apalagi dengan dorongan euphoria arogansi lokal semata, namun lebih mencari jalan tengah dan solusi yang mampu memberi keseimbangan dalam penguasaan lahan antara korporasi dan wilayah kelola masyarakat. Dalam konteks ini tentu peran pemerintah supra desa (terutama pemkab dan pemprov) sangat dibutuhkan mampu berperan terdepan menjalankan fungsi mediasi (mediator) dalam upaya mencari solusi bijak sebagai langkah mengejar rasa keadilan sekaligus menjaga daya dukung ekologis untuk kehidupan berkelanjutan di pedesaan. Minimal dengan mengerem langkah perluasan lahan yang sudah kebablasan baik melalui mekanisme skema review perijinan maupun instrumen penyusunan Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi dan Kabupaten,  untuk tetap mempertahankan menjadi wilayah kelola masyarakat di sektor pertanian pangan, holtikultura, peternakan, perikanan, komoditi perkebunan rakyat (karet, kopi, tebu dll). Minimal untuk kawasan pusat pemukiman warga di tiap desa tetap dibentengi (buffer zone) kawasan lahan pertanian pangan abadi dan pencadangannya, kawasan pencadangan pemukiman, pencadangan fasilitas umum dan sosial masyarakat untuk jangka panjang.     

Menjaga keseimbangan dan keadilan dalam penguasaan sumber daya alam sangat penting untuk menstabilkan kondisi kehidupan rakyat di desa-desa agar tak mengalami ketidakberdayaan maka sangat mendesak untuk memberi solusinya. Disinilah letak urgensinya RTRW Desa linier dengan pengakuan negara terhadap hak asal usul dan tradisional masyarakat yang tersurat dan tersirat dalam pasal 18b UUD 1945 dan  UU Desa Nomor 6 Tahun 2014 ini berikut PP 43/2014 yang menyebut dengan jelas dan tegas terminologi “Tata Ruang Desa” sebagaimana bunyi ketentuan pasal 125 ayat 2 dan 3.

Kemauan Politik dan Solusi Konflik

UU Desa No.6 tahun 2014 secara eksplisit mendudukan pengakuan negara terhadap Desa. Dengan demikian secara  mutatis mutandis juga memberi peluang dan hak kepada Desa untuk menentukan dan menata ruang sendiri sebagai wujud mengatur dan melindungi kepentingan masa depan warga desa.  Termasuk mengamankan aset dan kekayaan desa bagi kehidupan berkelanjutan dan keseimbangan dalam pemanfaatan ruang terkait dengan penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam (tata kelola lahan dan hutan).

Terlepas dari itu, sikap dan langkah proaktif desa-desa untuk mulai menyusun rancangan Tata Ruang Desa melalui instrumen Perdes RTRW Desa perlu mulai dijalankan dan disikapi secara positif oleh pemerintah supra desa karena selain memiliki pijakan dasar melalui UU Desa dan peraturan pelaksanaanya sekaligus menjadi  ajang penyampaian aspirasi masyarakat desa-desa untuk dirembugkan atau disinkronisasi-kan dalam alur proses agenda Penyusunan dan Penetapan Revisi RTRW Kabupaten-kabupaten (induk maupun kabupaten pemekaran) yang masih berpeluang dilakukan penyesuaian karena belum final dan disahkan sambil menunggu RTRW Provinsi ditetapkan/disahkan secara definitif dan mempunyai kekuatan berlaku mengikat. Penyusunan rancangan Tata Ruang Desa juga setidaknya akan mendorong percepatan dan memotivasi antar desa-desa bersebelahan untuk segera menyelesaikan dengan jalan musyawarah mencari win-win solution kesepakatan batas antar desa.

Kita memaklumi kehadiran Undang-undang Desa yang baru berumur belum setahun ini, memang butuh proses yang tak singkat untuk memahami paradigma baru atas desa. Alih-alih memberikan transformasi atas agenda pembaharuan desa, para elit politik justru diharapkan jangan hanya menjadikan undang-undang desa sebagai instrumen politis saja yang akibatnya UU desa kemudian dipandang sebagai agenda yang berhenti pada alokasi anggaran untuk desa semata. Sehingga gaung isunya di masyarakat desa setakat ini seolah hanya terfokus pada besaran dana 1 Milyar per desa. Padahal agenda untuk meletakkan pengakuan sejati negara atas desa semestinya dibarengi dengan upaya reaktualisasi desa di berbagai sektor. Dan dalam konteks ini, kedaulatan desa dalam menata ruang termasuk agenda pembaharuan desa yang mendasari itu semua sebagai bagian per-hulu-an dengan memulai langkah konkrit mengejar keadilan dan keseimbangan dalam penguasaan sumber daya alam yang linier dengan upaya percepatan pengurangan kemiskinan dan peningkatan taraf hidup rakyat banyak di pedesaan. Maka UU Desa semestinya dimaknai sebagai regulasi reformis (pro rakyat banyak) yang akan menjadi dasar utama bagi upaya advokasi kemandirian desa. Karena itu undang-undang yang tidak berpihak sudah seharusnya untuk direview oleh kepemimpinan nasional (Presiden bersama DPR) termasuk namun tak terbatas hanya UU Penataan Ruang saja. Semoga.

Penulis : Bung Muda Mahendrawan
*) Penulis Pendiri Institut Indonesia Moeda, profesi Notaris dan PPAT  

Seri Menyiapkan Desa 4 : Perlibatan Perempuan dan Masa Depan Desa

Seri Menyiapkan Desa (bagian 4)

PERLIBATAN PEREMPUAN DAN MASA DEPAN DESA
(TANTANGAN, PELUANG, DAN STRATEGI DESA)

“Keterwakilan perempuan untuk turut terlibat aktif berkontribusi dalam pengambilan kebijakan publik di musyawarah desa menjadi penting dan strategis agar arah kebijakan dan program kegiatan lebih fokus dan konsisten pada upaya pemenuhan hak-hak dasar rakyat untuk percepatan pengurangan rumah tangga sangat miskin yang sebagian besar (70%) di pedesaan”

Fakta berbicara selama ini partisipasi atau representasi perempuan untuk turut terlibat dalam pengambilan keputusan publik dan mempengaruhi arah kebijakan di desa masih rendah. Kenyataan ini mengakibatkan posisi perempuan - terlebih yang sangat miskin - semakin tersudutkan dan sangat rentan, dimana proses marginalisasi – subordinasi – beban ganda – kekerasan dan stereotip negative masih terus berlangsung yang membutuhkan pemahaman dan perhatian lebih fokus dari semua pihak.

Meskipun sejak era reformasi telah terjadi proses pergeseran kewenangan desentralisasi dengan otonomi daerah berada di kabupaten dan kota namun peluang untuk memaksimalkan peran perempuan dalam mempengaruhi langsung kebijakan pubik masih rendah, apalagi di pedesaan upaya itu menghadapi berbagai tantangan dan kendala tidak ringan. Masih butuh proses perjuangan cukup gigih, konsisten dan fokus untuk terbangunnya kesamaan persepsi dan pemahaman lebih luas serta sikap bijak aparatur dan elit desa terhadap prinsip dan spirit  keadilan gender, termasuk masih perlu kerja keras untuk menyadarkan kalangan perempuan sendiri untuk tidak membiarkan dan turut terjun langsung mengawal proses pengambilan kebijakan publik dan berjuang menyuarakan pemenuhan hak-hak dasar (ekosob) bagi keluarga miskin di pedesaan.

Jika memotret indikator kemiskinan, problem mendasar yang jadi akar persoalan kemiskinan dan signifikan berpengaruh pada IPM yakni rendahnya kualitas kesehatan dan pendidikan keluarga, mulai dari masih tingginya angka kematian ibu, bayi, balita akibat kelahiran atau penyakit menular mematikan (diare, dll), angka gizi kurang dan gizi buruk, angka harapan hidup, tingginya angka buta huruf dan putus sekolah (apk-apm), selain indikator kemiskinan lainnya (sesuai standart MDG’s). Indikator kesehatan dan pendidikan keluarga tentu sangat lekat dengan peran orang tua terutama peran ibu, maka pengaruh perempuan akan signifikan menentukan indikator kemiskinan keluarga, karena rentan dan langsung merembet pula pada kondisi anak-anaknya, terlebih perempuan miskin yang sedang mengandung seringkali jadi ancaman anaknya lahir dalam kondisi gizi kurang, gizi buruk dan rentan penyakit. Fakta menunjukkan kematian  ibu dan atau bayi ketika melahirkan sebagian besar dialami keluarga miskin, lebih rentan mendesak juga perempuan yang sekaligus berperan sebagai kepala keluarga akibat kematian suami, perceraian, atau berpisah karena suami harus merantau cari kerja sangat jauh.

Maka tak dibantah peran perempuan cukup strategis dalam mengawal kualitas hidup tiap rumah tangga, ibarat hitam putih dan gelap terang kondisi rumah tangga signifikan dipengaruhi peran perempuan, secara kodrati dan dalam fokus keseharian tentu lebih memiliki kekuatan kepekaan  menyentuh langsung pusaran akar persoalan kemiskinan yang menentukan kualitas dan masa depan  generasi anak-anaknya. Karena itu secara empiris di berbagai belahan dunia manapun termasuk Indonesia,  daerah-daerah yang ruang partisipasi perempuan sudah semakin terbuka (bukan maksudnya dominan) untuk berperan aktif menyuarakan dan mempengaruhi kebijakan publik, kualitas hidup rata-rata rumah tangganya cenderung meningkat lebih baik. Bahkan peran perempuan dalam memperjuangkan perdamaian dan memerangi berbagai bentuk kekerasan pun sudah semakin teruji dan terbukti. Peraih nobel perdamaian dunia beberapa tahun belakangan ini berturut-turut dianugerahkan kepada tokoh-tokoh perempuan dari berbagai negara (negara miskin). Ini bukti peran perempuan sangat signifikan mampu menjadi perekat perdamaian antar warga masyarakat yang terlibat konflik berkepanjangan (fisik dan psikis) karena perbedaan daerah asal usul, suku, ras, agama, dan adat budaya, terlebih di pedesaan yang juga rentan terhadap konflik horizontal akibat akses informasi dan transportasi sangat sulit dijangkau. Fakta mencatat hampir setiap hari terjadi kasus kekerasan dalam rumah tangga baik fisik maupun mental, terutama terhadap isteri dan anak-anak, dan sebagian besar justru terjadi di lingkungan keluarga miskin sebagai ekses himpitan hidup sehari-hari yang akibatkan  frustrasi sangat mudah menyulut tindakan emosional.

Peluang Pasca UU Desa

Bagaimana peluang memaksimalkan peran perempuan (bukan mendominasi) dalam proses pengambilan kebijakan publik di pedesaan pasca lahirnya UU Desa ? UU Desa menjadi momentum penting karena pengakuan kewenangan desa telah melegitimasi desa sebagai entitas yang tak lagi sekadar obyek pembangunan dan hanya jadi subordinat dari pemerintahan di atasnya seperti selama ini melainkan subyek pembangunan, maka implementasi UU Desa kelak akan membuat musyawarah perencanaan pembangunan desa (musrenbangdes) tak lagi seolah formalitas belaka seperti dulu, karena aparatur bersama seluruh elemen pemangku kepentingan di desa bisa mengambil keputusan bersama yang ditetapkan dalam APBDesa untuk dilaksanakan dan direalisasikan.  Maka musyawarah desa jadi agenda wajib yang harus melibatkan seluruh stake holder desa.

Dalam UU Desa berikut peraturan pelaksanannya melalui PP 43 Tahun 2014 dan PP 60 tahun 2014 secara tersurat dan tersirat telah memuat dan menegaskan regulasi, prinsip dan semangat keadilan gender dan atau keterwakilan perempuan untuk diimplementasikan baik dalam proses penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa. Beberapa ketentuan yang secara tersurat menegaskan misalnya dalam PP 43/2014 pasal 71 tentang pengisian anggota BPD, pasal 80 tentang Musyawarah Desa, pasal 121 tentang Pelaksaaan Pembangunan Desa, pasal 144 tentang Badan Kerjasama Desa.  Terlepas dari pengaturan dalam pasal-pasal tersebut, namun terpenting bahwa semua pihak menyadari  semangat lahirnya UU Desa untuk memberi peluang keadilan bagi rakyat yang sebagian besar hidup di pedesaan, setidaknya bagi aparatur dan seluruh pemangku kepentingan desa mulai berupaya membangun kesamaan cara pandang terhadap perlibatan perempuan (lebih proporsional) mulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pengawasan,evaluasi, pertanggungjawaban. 

Diharapkan arah kebijakan akan fokus mengutamakan pada program kegiatan  yang langsung bersentuhan dengan upaya pemenuhan hak dasar terutama  perbaikan kondisi kesehatan dan pendidikan tiap keluarga (pangan,gizi,kematian ibu bayi dan balita, ancaman putus sekolah, dan pemberdayaan perempuan agar produktif).

Strategi Memaksimalkan Perlibatan Perempuan

Karena UU Desa berikut PP nya telah jelas menegaskan prinsip dan semangat keadilan gender dan atau keterwakilan perempuan sehingga peluang partisipasi lebih terbuka secara proporsional untuk turut andil dan mempengaruhi pengambilan kebijakan publik di desa. Agar langkah ke arah itu bisa konsisten terbangun maka untuk itu setidaknya dibutuhkan berbagai strategi dan langkah konkrit dari semua pihak baik aparatur desa, jajaran pemkab, dan terutama kelompok perempuan sendiri antara lain :   

Pertama, Mendorong upaya lebih maksimalnya peluang akses informasi terhadap seluruh perkembangan proses tata kelola pemerintahan desa dengan ikut mendorong langkah menata dan mengembangkan sistem informasi desa (misalnya turut aktif dalam penyusunan data based desa, pengembangan radio komunitas warga, proaktif ikut pelatihan jurnalis warga, mendesain sms gateway seperti best practice nya serikat pekka). 

Kedua, Mendorong perlibatan di musyawarah desa lebih maksimal perlu diupayakan untuk memperbanyak representasi (keterwakilan) dari berbagai kelompok perempuan berbasis komunitas di desa. Misalnya selama ini perempuan di desa lebih banyak hanya terlibat di komunitas Kelompok PKK desa, kader posyandu, tutor PAUD, organisasi serikat perempuan di desa, kelompok pengajian perempuan, kelompok do’a, kelompok seni budaya (qasidah dll), komunitas pengrajin, maka ke depan perlu lebih diperbanyak menjadi keterwakilan komunitas pedagang kecil di pasar desa juga ada keterwakilan yang dari kelompok perempuan, komunitas koperasi simpan pinjam ada keterwakilan dari perempuan, komunitas petani juga ada keterwakilan dari petani perempuan, dan komunitas lain yang bisa memaksimalkan peran turut menyuarakan dalam tiap agenda musyawarah desa  (implementasi pasal 18 PP 43/2014). 

Ketiga, Mendorong keterwakilan perempuan untuk turut masuk menjadi anggota BPD sesuai dengan semangat pasal 72 PP 43/2014, setidaknya dari keseluruhan anggota BPD juga ada keterwakilan perempuan (tentu yang punya kapasitas) dengan jumlah yang proporsional, karena faktanya di berbagai desa setakat ini jumlah perempuan yang jadi anggota BPD masih sangat minim bahkan banyak pula desa yang  anggota BPD nya sama sekali tak ada dari perempuan. Mengingat dalam UU Desa anggota BPD telah semakin dipertegas peran dan kewenangannya dalam pengambilan kebijakan publik terkait seluruh proses tata kelola pemerintahan dari mulai mengajukan, membahas dan menyetujui kebijakan publik, dan melakukan pengawasan serta evaluasi kinerja hingga pertanggungjawaban pemerintah desa. Jumlah anggota BPD umumnya ganjil (5,7,9) sesuai jumlah penduduk dan kebutuhan desa. 

Keempat, perlu aktif menggelar  dan atau mengikutsertakan kader-kadernya dalam berbagai pelatihan agar punya kapasitas ketrampilan dan pemahaman terkait misalnya tentang alur proses kebijakan dalam tata kelola pemerintahan, keuangan dan aset (RPJMDesa,RKPDesa, APBDesa) dan tata kelola SDA (tata ruang desa), tata cara penyusunan perdes, pelatihan aplikasi sistem pelayanan administrasi desa berbasis IT, dan pelatihan ketrampilan lainnya yang dibutuhkan sebagai pengetahuan dasar untuk terlibat aktif dalam menyuarakan kepentingan warga desa dalam musyawarah desa.  

Kelima, Mendorong gerak perempuan di desa untuk mulai menguatkan isu-isu produktif dalam upaya mewujudkan Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) dan perempuan ikut terlibat menjadi bagian dari inisiator dan struktur pengurus BUMDesa sebagai lembaga ekonomi desa yang berpeluang meluaskan kegiatan ekonomi warga terutama mengambil peluang pemberdayaan ekonomi perempuan dari berbagai komunitas di desa

Keenam, dari sejak sekarang baik aparatur desa dan para pemangku kepentingan terutama kader pegiat dari kelompok perempuan  agar  mendorong kalangan perempuan desa terdidik (sarjana D-3 dan S-1) untuk juga dipersiapkan  menjadi cikal bakal tenaga pendamping desa yang profesional ke depan. Dalam PP 43/2014  ditegaskan arah ke depan bahwa tiap desa akan dibutuhkan tenaga pendamping profesional yang memiliki sertifikasi dengan kompetensi dan kualifikasi tertentu (baca pasal 128 – 131 PP 43/2014). Dalam tulisan lalu (bagian 4) penulis menyarankan Pemkab-pemkab sebenarnya  bisa proaktif mendesain program tenaga pendampingan desa dari generasi muda terdidik (sarjana asal desa kembali mengabdi ke desa).

Butuh Komitmen Serius Pemerintah Supra Desa

Sebagaimana penulis sampaikan sebelumnya, Implementasi UU Desa jelas tak hanya menuntut kesiapan dari aparatur desa saja, melainkan justru peran dan kesiapan aparatur jajaran pemerintah kabupaten karena sesuai prinsip desentralisasi dan otonomi daerah pemkab langsung bertanggung jawab untuk melakukan supervisi, pembinaan dan pengawasan terhadap pemerintahan desa, maka dalam kaitan dengan peluang untuk memaksimalkan ruang partisipasi perempuan di desa sangat membutuhkan dukungan dan komitmen kuat serta sungguh-sungguh dari pemkab melalui SKPD-SKPD di jajaran birokrasi dalam menyusun perencanaan, penganggaran dan pelaksanaan pembangunan yang lebih responsif gender dan memberi peluang bagi upaya perlibatan perempuan lebih proporsional. Untuk memaksimalkan 6 langkah strategi diatas dalam menyambut implementasi UU Desa ke depan, pemkab-pemkab juga perlu proaktif menjalin komunikasi untuk kerjasama bersinergi dan berkolaborasi dengan berbagai pegiat/aktifis sosial (NGO’s) yang selama ini fokus pada isu-isu pemberdayaan/perlindungan perempuan dan keluarga, seperti (di kalbar) Serikat Pekka, PPSW, Alpekaje, LBH-PIK, YSDK, WVI, Diantama dll, juga Fasilitator/Pendamping PNPM Generasi di tiap kabupaten, agar Best Practice’s dari inisiatif yang sudah dijalankan selama ini di berbagai desa melalui masyarakat dampingan dapat diadopsi dan dikembangkan (direplikasi) lebih luas di desa lainnya. Pemkab melalui SKPD-SKPD terkait (Badan Pemdes, Bappeda, Badan Pemberdayaan Keluarga dan KB, Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, Dinas Koperasi dan UKM, Dinas Pertanian, Perikanan, Peternakan, Camat dan stafnya) perlu kerja keras lebih intensif menanamkan kesamaan persepsi dan pemahaman kepada seluruh aparatur,  elit-elit dan para pemangku kepentingan desa terhadap penting dan strategisnya peran dan perlibatan perempuan lebih proporsional dalam proses pengambilan kebijakan publik di desa-desa, komitmen ini perlu dijalankan dengan konkrit,sungguh-sungguh,berkelanjutan, tak sekadar kamuflase dan formalitas belaka. Semoga.

Penulis : Bung Muda Mahendra, Mantan Bupati Kabupaten Kubu Raya dan Pendiri Institut Indonesia Moeda

Seri Menyiapkan Desa 3 : Proaktif Desain Program Pendampingan Desa

Seri Menyiapkan Desa (Bagian 3)

PROAKTIF DESAIN PROGRAM PENDAMPINGAN DESA     

“Mengingat jumlah dan letak geografis desa-desa yang tersebar luas, Pemkab tentu sulit untuk melakukan supervisi yang intensif dan rutin hari ke hari, maka dibutuhkan tenaga pendamping desa dari pemudi pemuda terdidik (sarjana) untuk dilatih dan diberi peluang turut terlibat membantu kelancaran sekaligus meminimalisir resiko kekeliruan atau penyimpangan dalam tata kelola pemerintahan, keuangan dan aset, serta tata kelola SDA di desa”

UU Desa berikut peraturan pelaksanaanya telah membuka peluang dan harapan besar untuk mempercepat upaya pengurangan kemiskinan dan pengangguran demi perbaikan kualitas hidup dan memperkecil kesenjangan antara pedesaan dan perkotaan agar lebih berkeadilan. Di sisi lain, kehadiran UU Desa juga membawa konsekuensi dan tantangan yang tidak sedikit untuk mengimplementasikannya secara optimal. Namun bagaimanapun juga seluruh pihak terutama aparatur pemerintah desa bersama seluruh pemangku kepentingan yang ada di desa-desa harus berupaya bekerja keras dan berjibaku menggerakkan semangat warganya untuk mengawal agenda pembaharuan desa ini jangan sampai ke depan justru banyak  memunculkan persoalan baru yang tidak diharapkan. Karena kewenangan desa yang telah terlegitimasi melalui UU Desa ini tentu memiliki konsekuensi harus dijalankan  dengan penuh tanggung jawab. Maka penguatan kapasitas dan orientasi yang fokus pada pelayanan publik dari aparatur desa menjadi sebuah keniscayaan, dan terpenting ada kesadaran kolektif dari seluruh aparatur desa untuk menyiapkan diri memperkuat kompetensi dan menggeser pola pikir serta pendekatan dalam tata kelola penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat. Namun tentu semua itu butuh proses waktu dan tidak bisa serta merta sesuai harapan, setidaknya harus melalui proses sambil berjalan (learning by doing) melakukan perbaikan demi perbaikan dalam menjalankan tata kelolanya.

Tantangan Implementasi UU Desa

Dalam konteks kewenangan desa yang semakin mendapat pengakuan melalui UU Desa untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri, namun kita sadari semua tidaklah bisa langsung berjalan lancar dan optimal, apalagi ketika UU Desa dibahas dan disahkan oleh Pemerintah bersama DPR-RI gaung isunya terfokus pada jumlah anggaran dana desa yang cukup besar, yaitu gaung dana 1 Milyar tiap desa, padahal substansi UU Desa tak hanya sebatas pada soal besaran uang yang akan mengalir ke kas desa melainkan banyak substansi lain yang menjadi prinsip dan aspek lain untuk mengejar keadilan sosial, ekonomi, budaya, dan lainnya. Namun semua itu wajar, disebabkan selama ini desa-desa seolah belum sebagai Subyek pembangunan, sehingga semua proses perencanaan dan kebutuhan prioritas desa hanya untuk diusulkan ke pemerintah supra desa sedangkan pemerintah desa tidak punya kewenangan memutuskan sendiri dan mengatur sendiri, jadi desa seolah hanya menunggu saja apa yang akan dibangun di desa-desa. Kalaupun dalam 7 tahun ini ada dialokasikan ADD namun jumlahnya masih kecil dan hanya mampu membiayai sangat sedikit item-item belanja desa untuk penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat, sehingga sangat jauh dengan kebutuhan dasar masyarakat yang mendesak untuk bisa direalisasikan. Meski saat ini belum diketahui pasti berapa anggaran dana desa yang akan disalurkan pada tahun 2015 mendatang mengingat kondisi keuangan negara (APBN) yang sedang mengalami tekanan berat karena subsidi BBM semakin besar.

Namun terlepas dari hal itu, bercermin dari perjalanan empiris ketika dimulainya era Otonomi Daerah sejak 1999 lalu, tak terelakkan munculnya euphoria dari elit-elit di daerah yang kemudian berdampak banyak persoalan hukum yang muncul, baik di lingkungan eksekutif maupun legislatif di berbagai kabupaten/kota dan provinsi di Indonesia, kondisi ini tentu juga menjadi salah satu faktor penghambat serius bagi kelancaran pembangunan di daerah-daerah, bahkan seringkali pula berdampak pada situasi sosial dan politik yang kurang kondusif di daerah-daerah.

Lalu bagaimana dengan dampak implementasi kewenangan desa dalam UU Desa terhadap potensi penyalahgunaan dan persoalan hukum ke depan ? mengingat perjalanan otonomi daerah untuk pemerintah supra desa (kabupaten, provinsi) saja yang telah memiliki birokrasi terlatih dari kalangan PNS dan tentu sudah memiliki kompetensi lebih daripada aparatur desa ternyata di berbagai daerah banyak pula terjerat persoalan hukum, lalu bagaimana  dengan desa-desa yang jumlahnya se-Indonesia 73 ribu saat ini apalagi dengan wilayah desa yang menyebar luas bahkan sampai ke pelosok-pelosok pesisir dan pedalaman sehingga sangat sulit untuk melakukan pembinaan dan supervisi sehari-harinya, bagaimana langkah solusi untuk meminimalisirnya ?

Langkah Proaktif Rekruitmen Tenaga Pendamping Desa

Karena itulah UU Desa dan PP 43/2014 telah mengatur terkait pentingnya peran Tenaga Pendamping Desa yang profesional (pasal 128 – 131), meskipun sebenarnya seluruh jajaran pemkab melalui SKPD/Dinas secara otomatis berperan sebagai pendamping desa, namun mengingat desa-desa itu wilayahnya menyebar dan sangat sulit untuk melakukan pendampingan secara intensif dan efektif, maka lebih dibutuhkan Tenaga Pendamping Desa Profesional yang bisa melakukan pendampingan sehari-hari bagi aparatur pemerintahan desa dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, setidaknya melalui kehadiran tenaga pendamping desa diharapkan bisa mengawal langsung dan meminimalisir kekeliruan yang fatal bagi aparatur desa, terutama namun tidak terbatas hanya soal alur proses dan kebijakan dalam tata kelola keuangan dan aset desa serta tata kelola SDA. Dalam PP 43/20014 tenaga pendamping desa disyaratkan memiliki kapasitas yang mumpuni, dan melalui sertifikasi kompetensi dan kualifikasi tenaga pendamping. 

Bagaimana pola mekanisme rekruitmen tenaga pendamping desa ke depan ?  

Terkait hal ini memang belum ada kejelasan karena masih menunggu pengaturan selanjutnya yang akan langsung di bawah koordinasi kementrian pedesaan (menteri desa, daerah tertinggal dan transmigrasi) sebagai kementrian baru di kabinet saat ini bersama-sama kementrian dalam negeri.

Oleh karena itu pemerintah kabupaten sebaiknya bersikap proaktif dan tak hanya menunggu. Bagaimanapun pemerintah kabupaten berperan terdepan sebagai pembina yang bertanggung jawab untuk melakukan supervisi kepada desa-desa, apalagi perjalanan implementasi UU Desa ini secara langsung akan menjadi cerminan dan potret bagaimana tata kelola pemerintah kabupaten sendiri. Jika berjalan optimal maka otomatis akan berdampak pula percepatan capaian sasaran dan target pembangunan, sebaliknya jika tak optimal dan banyak muncul persoalan akan langsung berdampak pada lambatnya proses capaian sasaran pembangunan. Selain itu jika kita melihat ketersediaan tenaga pendamping desa sesuai dengan yang disyaratkan dalam ketentuan PP 43 itu tentu masih terbatas jumlahnya, karena pihak yang lebih siap dari sisi kompetensi untuk melakukan pendampingan yakni pelaku atau pegiat fasilitator dan pendamping PNPM Mandiri Pedesaan karena selama ini fokus menjalankan pendampingan kepada desa-desa. Akan tetapi jumlah fasilitator dan pendamping PNPM se Indonesia totalnya sekitar 12  ribu saja, sementara jumlah desa hampir 73 ribu,  setidaknya tiap desa minimal 1 tenaga pendamping desa.

Maka solusinya tentu perlu langkah proaktif dan inisiatif dari Pemkab-Pemkab  untu melakukan rekruitmen tenaga pendamping desa melalui SKPD Badan Pemdes sebagai SKPD yang tepat untuk mengelola program kegiatannya. Paling tidak minimal tamatan D-3 dan S-1 dan lebih diutamakan yang berasal dari daerah setempat (tidak mutlak). Program ini juga akan langsung berdampak positif karena akan memberdayakan banyak para sarjana lulusan D-3 dan S-1 asal kabupaten tersebut yang saat ini masih banyak juga yang belum mendapat peluang pekerjaan, paling tidak sarjana asal kecamatan atau desa setempat juga bisa kembali mengabdikan dirinya di kecamatan atau desa asalnya, sehingga akan mengurangi pengangguran terdidik yang semakin hari semakin besar kuantitasnya, seperti di kalbar saja misalnya tiap tahun ribuan sarjana lulus dari perguruan tinggi namun peluang aktifitas pekerjaan sektor formal sangat terbatas baik pegawai swasta apalagi PNS, banyak sarjana yang sebenarnya ingin kembali mengabdikan diri ke kampung asalnya namun terbentur kecilnya peluang kerja yang tersedia.

Meski demikian rekrutmen sarjana untuk menjadi tenaga pendamping desa tetap kedepankan syarat memiliki kompetensi dan ketrampilan dengan standar tertentu melalui pola pelatihan yang benar-benar fokus minimal pemahaman dan ketrampilan dasar untuk tata kelola administrasi, keuangan aset desa, dan tata kelola SDA, apalagi para sarjana sekarang hampir semua mampu gunakan IT karena tuntutan jaman, sehingga juga bisa mengawal upaya membangun sistem informasi desa berbasis IT baik menyusun dan input data base dan semua proses perencanaan sampai pelaporan dan pertanggungjawaban. 

Maka harus diberikan terlebih dahulu pelatihan yang fokus (misalnya selama 1 bulan) sebelum diterjunkan melakukan pendampingan di desa tempat penugasannya dan sambil berjalan secara periodik setiap 3 bulan sekali perlu diberikan penguatan terus agar bisa lebih fokus, sekaligus sebagai bahan masukkan dan evaluasi terkait dengan segala kendala dan tantangan yang ditemukan untuk dicarikan solusinya, karena para tenaga pendamping desa itu juga ibarat kepanjangan tangan dari Pemkab untuk membantu desa-desa agar  proses tata kelola pemerintahan bisa berjalan lancar dan meminimalisir penyimpangan ke depan baik karena  kesengajaan ataupun kelalaian semata. Pemerintah Kabupaten tentu bisa menjalin kerjasama dengan pihak-pihak yang memiliki kompetensi dan integritas untuk memberikan pelatihan dan penguatan kompetensi dan ketrampilan  bagi calon-calon tenaga pendamping desa itu nantinya.

Fasilitas untuk pendapatan dan tunjangan operasional setiap bulan tentu perlu disediakan anggarannya oleh pemkab yang bisa disalurkan melalui pos anggaran di Badan Pemdes, termasuk pula fasilitas kerja yang diperlukan. Untuk merancang program kegiatan ini pemkab perlu membuat aturan kebijakannya melalui penerbitan Peraturan Bupati tentang Tenaga Pendampingan Desa sebagai dasar dan payung hukum untuk dimuat menjadi program kegiatan di RKPD hingga mengalokasikan anggaran yang diperlukan tiap tahun dalam APBD Tahun depan. Jika kemudian untuk tenaga pendamping desa misalnya tahun berikutnya kelak (2016) diprogramkan oleh pemerintah pusat melalui kementrian pedesaan selaku pengelolanya maka pemerintah kabupaten tidak perlu kemudian menghapus program ini, namun cukup menyesuaikan setidaknya untuk pelatihan ketrampilan bagi tenaga pendamping desa secara periodik masih tetap dibutuhkan. Sebaliknya, pemerintah desa melalui kades dan perangkatnya perlu menyikapi langkah ini secara proaktif pula sebagai peluang positif dalam upaya meminimalisir dan meringankan beban resiko munculnya penyimpangan (problem hukum) karena kekeliruan baik sengaja maupun karena kelalaian sebagai akibat lemahnya supervisi dari pemerintah kabupaten, apalagi jika tanpa ada pendampingan secara intensif hari ke hari.       

Salah satu kabupaten di Kalbar sebenarnya telah menjalankan Program Sarjana Pendamping Desa (SPD) sejak tahun 2010 yang dikelola oleh SKPD Bappeda dan sampai saat ini masih berjalan dan diikuti oleh para sarjana yang berasal dari berbagai kecamatan, meskipun tidak semua desa ditempatkan. Ibarat gayung bersambut, ternyata UU Desa dan PP nya sekarang mengatur itu, tinggal diteruskan saja tentu dengan berbagai penyesuaian termasuk SKPD yang mengelola digeser ke Badan Pemdes.   


Terlepas dari itu, upaya proaktif untuk menyusun program pendampingan desa dengan memberdayakan putra putri terdidik (diutamakan namun bukan mutlak asal kabupaten bersangkutan) yang telah menyelesaikan studi di perguruan tinggi baik D-3 dan S-1 (semua disiplin ilmu) tentu menjadi ruang aktualisasi positif dan pembelajaran untuk mematangkan diri mereka dalam menghadapi, menganalisa, dan mencari solusi terhadap berbagai problem masyarakat di desa-desa sehingga kehadiran para sarjana tersebut sebagai generasi muda terdidik perlu diberi peluang untuk turut terlibat mengawal agenda pembaharuan desa yang diharapkan membawa kontribusi positif bagi perbaikan tata kelola desa-desa ke depan. Akhirnya, bagaimanapun secara konstitusional (sesuai prinsip desentralisasi dan otonomi daerah) pemerintah kabupaten sebagai pembina langsung yang memiliki peran (tanggung jawab) terdepan untuk mengupayakan agar proses tata kelola pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat di desa-desa dapat berjalan lebih  lancar dan optimal untuk mengejar sasaran percepatan pengurangan kemiskinan di desa-desa. Semoga.

Penulis : Bung Muda Mahendra, Mantan Bupati Kabupaten Kubu Raya dan Pendiri Institut Indonesia Moeda

Seri Menyiapkan Desa 2 : Merancang Bangun Pengembangan Sistem Informasi Desa

Seri Menyiapkan Desa (Tulisan 2)

MERANCANG BANGUN PENGEMBANGAN SISTEM INFORMASI DESA
(Keterbukaan, Ketepatan, dan Keadilan Akses Informasi)

“Bilamana desa-desa telah memulai langkah menata dan mengembangkan Sistem Informasi Desa yang terbuka, akurat, up date, dan berlangsung terus menerus, akses itu jadi pintu awal yang baik bagi proses pengelolaan Keuangan dan Aset serta Tata Kelola SDA (tata ruang desa) terkait agenda perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, evaluasi, pertanggungjawaban yang lebih tepat, partisipatif dan berkeadilan untuk mengejar peluang percepatan pemenuhan hak dasar dan perbaikan kualitas hidup rumah tangga di desa-desa”

UU Desa meski telah memberi peluang bagi aparat pemerintah desa untuk menjalankan kewenangan dalam menyusun perencanaan, penganggaran, pelaksanaan berdasarkan musyawarah desa, namun tidak berarti semua itu sudah menjamin bahwa prosesnya pasti akan berjalan lancar dan tidak menemui kendala bahkan tak jarang terjadi penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan keuangan dan aset desa serta tata kelola SDA di desa-desa.

Selama ini tak jarang dalam proses pelaksanaan kegiatan pembangunan di desa-desa yang bersumber baik dari dana ADD, APBD Kabupaten, Provinsi maupun APBN Pusat, warga desa tempat obyek lokasi pembangunan justru tidak mengetahui dari awalnya, bahkan  ada pula kegiatan pembangunan yang tiba-tiba masuk di desa tanpa diketahui sebelumnya oleh warga desa karena minimnya akses informasi. Sebenarnya bagi warga desa kegiatan pembangunan baik fisik dan non fisik tentu sangat dibutuhkan apalagi yang menyangkut infrastruktur dasar seperti jalan, jembatan, sarana pendidikan, kesehatan, sarana prasarana pertanian, air bersih, dan sebagainya. Namun disisi lain, ketika informasinya kurang akan berakibat lemahnya partisipasi masyarakat dalam pengawasan, bagaimanapun penerima manfaat pembangunan adalah warga masyarakat desa itu sendiri, dan jika pengawasan lemah berpotensi penyimpangan dengan bermacam modus baik kualitas, volume, dan target waktu kegiatan.  Lebih ekstrim lagi, tak jarang juga ada alokasi anggaran yang menjadi program kegiatan melalui SKPD atau Dinas tertentu namun ternyata di lapangan tidak dikerjakan sama sekali sesuai mata anggaran, belakangan baru diketahui ternyata modus penyimpangan dilakukan dengan menduplikasi anggaran untuk 1 kegiatan yang sama obyeknya (2 pos anggaran untuk 1 kegiatan), atau jumlah satuan dan volume yang harus dikerjakan ternyata tidak sesuai tapi anggaran untuk itu dicairkan seluruhnya (100%) sehingga terindikasi ada kegiatan yang fiktif. Apapun modus penyimpangan  penyebab utama karena  lemahnya akses informasi ke warga desa.

Kembali pada kewenangan desa yang telah diakui dalam UU Desa konsekuensinya desa berhak atas anggaran yang cukup besar untuk dikelola sendiri.  Di sisi lain, lahirnya UU Desa selama ini tergiring opini yang terlalu terfokus pada gaung dana 1 milyar per desa sehingga bisa berakibat munculnya sikap euphoria yang jika tidak diberikan pemahaman dan persepsi yang tepat akan menimbulkan ekses negatif dan berpotensi terjadi penyimpangan, apalagi kalau mental aparatur dan elit-elit desa tidak lebih dulu dipersiapkan untuk menggeser pola pikir (mind set) dan pendekatan semata sebagai pelayan masyarakat bukan lagi dengan pendekatan kekuasaan dari kewenangan yang dimiliki oleh aparatur desa. Meskipun saat ini belum diketahui pasti berapa anggaran dana desa yang akan disalurkan pada tahun 2015 mendatang mengingat kondisi keuangan negara (APBN) yang sedang mengalami tekanan berat karena subsidi BBM semakin besar.

Karena itu seluruh elit dan warga desa perlu diberikan pemahaman dan persepsi yang benar terkait dengan besarnya anggaran dana desa, jangan sampai warga desa hanya tau besaran jumlahnya saja namun tidak memahami dari mana saja sumber keuangan desa baik dari APBN dan APBD dan bagaimana sebenarnya alur proses kebijakan dan tata kelolanya, apalagi kita pahami psikologi dan sosiologis di desa-desa yang sangat sensitif terkait persoalan keuangan yang dikelola aparatur desa. Politik lokal di desa justru lebih tajam dan rentan sehingga kesalahpahaman akibat lemahnya informasi  tak jarang membuat suasana desa tak jarang menjadi kurang kondusif.

LANGKAH-LANGKAH PROAKTIF, FOKUS, TAKTIS, dan SOLUTIF

Karena itu dari sejak sekarang sebenarnya Aparatur Desa sangat perlu mendorong pengembangan dan menata sistem informasi desa dengan langkah-langkah proaktif yang konkrit, fokus dan taktis yakni :

Pertama, dimulai dari penyusunan kembali data base baik data monografi dan demografi desa yang up date, valid dan akurat baik menyangkut kependudukan dan data kemiskinan warga berdasarkan tiap keluarga sebagai bahan untuk meramu kebijakan perencanaan dan penganggaran  agar tepat sasaran dan tidak mubazir. Termasuk data base lainnya yang dibutuhkan untuk disatukan ke dalam sebuah sistem informasi berbasis teknologi informasi (TI) untuk mempermudah cara kerja pemerintah desa dalam memperbaiki pelayanan publik, setidaknya dalam RPJMDesa dan RKP Desa harus telah dimuat program kegiatan untuk pengembangan Sistem Informasi Desa berbasis Teknologi Informasi. Saat ini banyak pihak mendesain sistem aplikasi berbasis TI untuk pengembangan Sistem Informasi Desa, baik pelayanan administrasi desa sehari-hari, sistem aplikasi TI Tata Kelola Keuangan dan Aset Desa serta tata kelola SDA baik dalam perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, dan pertanggungjawaban. Seperti best practice yang dikembangkan Gerakan Desa Membangun (GDM) untuk desa-desa di Jawa, (catatan : Institut Indonesia Moeda saat ini juga masih sedang dalam proses menyiapkan pengembangan aplikasi sistem informasi desa berbasis TI ini).  

Pengembangan Sistem Informasi Desa berbasis TI ini akan lebih efektif dalam membangun sistem sekaligus membentengi atau mempersempit ruang dan peluang penyimpangan dalam pengelolaan keuangan dan aset serta tata kelola SDA (tata ruang desa), mengapa ? karena selain memudahkan efektifitas kerja dalam penyusunan rancangan perencanaan sampai pertanggungjawaban juga akan lebih menjamin upaya keterbukaan (transparansi) dari seluruh alur proses kebijakan dan bisa meningkatkan kontrol pengendalian internal yang lebih efektif dan efisien. Untuk desa-desa yang sudah bisa akses jaringan internet pengembangan sistem aplikasi untuk administrasi juga disertai dengan pembangunan website Desa. Aplikasi Sistem Terpadu Adminitrasi Desa berbasis TI bisa disiapkan dan didesign untuk meng-input seluruh data-data based baik monografi, demografi , data kemiskinan, data pemerintah desa, data kegiatan ekonomi masyarakat dan perusahaan, data pendidikan dan kesehatan, data infrastruktur sarana prasarana, data pertanahan menyangkut kepemilikan SPT atau Sertifikat (sekaligus menertibkan administrasi penerbitan SKT/SPT untuk meminimalisir kasus tumpang tindih kepemilikan tanah/lahan yang semakin marak terjadi di berbagai desa) dan penguasaan tanah/lahan oleh perorangan atau korporasi (HGU), termasuk jika telah disusun draft rancangan Tata Ruang Desa yang mencakup peruntukan dan pemanfaatan lahan dan hutan termasuk data kawasan APL, kawasan hutan lindung, HP, HPT, HPK, HTI, HTR, Hutan Desa – Hutan Adat (jika telah ditetapkan), Taman Nasional, Kawasan Strategis Kabupaten/Provinsi dan kawasan lainnya, data kelompok petani, nelayan, pedagang, buruh, data TKI dari desa, dokumentasi Peratura Desa, Peraturan Kepala Desa, SK Kades, Data Administrasi BPD, Berita Acara Musyawarah Desa, Perdes RPJMDesa, Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKP) Desa, bahkan untuk keterbukaan memuat pula RAPBDesa dan APBDesa yang telah ditetapkan,  termasuk menginput data seluruh program kegiatan yang masuk ke desa (baik fisik maupun non fisik) yang bersumber dari dana APBD Kabupaten, Provinsi maupun APBN Pusat pada tahun berjalan, tentu akan merangsang partisipasi masyarakat  aktif mengawasi kegiatan itu.

Kedua, pengembangan Sistem Informasi Desa sebenarnya lebih diutamakan untuk merangsang munculnya SDM para pelaku informasi baik melalui media cetak, media komunikasi radio, maupun media sosial di pedesaan. Saat ini telah banyak juga  Best Practice yang dilakukan  kelompok masyarakat melalui dampingan pekerja/pegiat sosial (NGO’s) baik melalui aktifitas pendirian Radio-Radio Komunitas, media tabloid desa, media sosial desa yang semakin berkembang.  Mengingat masih banyak desa-desa yang sulit mengakses informasi karena kondisi geografis maka keberadaan Radio Komunitas desa dengan sendirinya akan menjadi langkah taktis dalam membuka akses informasi ke warga masyarakat desa terhadap segala aktifitas dan perkembangan desa dari hari ke hari dan segala informasi yang bermanfaat bagi pencerahan warga desa. Bahkan dalam momen atau agenda-agenda pemerintah desa sekalipun misalnya dalam Musyarawah Desa dan hasil-hasil yang disepakati bisa dipublikasikan. Untuk ini dibutuhkan upaya merangsang  aktifitas Jurnalisme Warga yang dilatih ketrampilannya untuk melakukan, mengakses, dan mempublikasi informasi. Skema aktifitas lain yang sekarang juga banyak dikembangkan misalnya SMS Gateway yang lebih memberikan jaminan akses informasi lebih cepat dan terkini kepada seluruh warga desa terhadap informasi yang bersifat mendesak, darurat dan strategis, misalnya informasi untuk mengundang warga desa secara efektif, informasi kejadian atau peristiwa misalnya ancaman bencana banjir, longsor, kebakaran,  tindak kejahatan misalnya KDRT, warga sakit mendadak, ini juga sekaligus menjaga budaya kebersamaan, gotong royong dan kepedulian sosial satu warga dengan lainnya yang perlu dipertahankan karena sudah mulai terkikis sebagai dampak langsung dari modernisasi dan teknologi.   Aktifitas kerja-kerja sosial, pemberdayaan dan dampingan pelatihan jurnalis warga, pengembangan radio-radio komunitas dan media desa lainnya kepada kelompok-kelompok organisasi rakyat (OR) di berbagai desa sebetulnya ibarat  embrio yang telah  siap untuk bersama-sama dengan Aparatur Desa sebagai subyek pelaku yang mendorong pengembangan Sistem Informasi Desa. 

Gagasan Kelompok Kerja Informasi Desa (KKID)

Dari kedua langkah diatas sebagai tindak lanjutnya untuk upaya menjamin dan memastikan keberlangsungan serta keberlanjutannya perlu kiranya dipertimbangkan untuk diwujudkan (langkah rekayasa sosial) menjadi sebuah kelembagaan cukup strategis di desa-desa sebagai langkah terobosan yang inovatif dan solutif yakni  Ketiga, Pemerintah Desa perlu mendorong SDM yang ada di desa tersebut untuk mengembangkan Sistem Informasi Desa agar dapat terkawal dan terpelihara secara terus menerus, sebab SID tak akan terbangun dan terkawal dengan baik tanpa  SDM yang punya kemauan dan daya juang tinggi sebagai pelaku informasi di desa, diawali dengan inisiatif untuk mendorong dan mendukung agenda-agenda seperti pelatihan ketrampilan komputer dan IT, pelatihan penyusunan data base desa, pelatihan jurnalis warga yang diikuti pula oleh perangkat desa dan para pemuda pemudi di desa sekaligus sebagai ruang aktualisasi  positif bagi kalangan generasi muda di desa. Sebabnya kalau pemerintah desa hanya mengandalkan tenaga SDM dari luar desa saja maka akan sulit nantinya untuk memelihara,merawat, dan mengawal sistem informasi itu dapat berjalan dan dikembangkan seterusnya.

Maka salah satu inisiatif dan gagasan terobosan (inovatif) yang bisa menjadi solusinya perlu upaya rekayasa sosial  terbentuknya kelembagaan misalnya membentuk Kelompok Kerja Informasi Desa. Kelembagaan ini diberikan peran terdepan dalam menghimpun, mengelola dan mendistribusikan informasi yang dibutuhkan warga desa dan terus merekam, meng input, mengawal hari ke hari setiap perkembangan dan peristiwa yang perlu diketahui oleh warga terkait langsung dengan penyelenggaraan pemerintah desa, proses pembangunan, proses pemberdayaan dan pembinaan masyarakat desa. 

Pembentukan kelembagaan ini juga perlu didukung penuh dengan legitimasi dari Kepala Desa bersama BPD melalui Peraturan Desa atau setidaknya melalui Peraturan Kepala Desa agar kedepannya bisa didukung sebagai salah satu program kegiatan yang diakomodir melalui RPJMDesa (revisi), RKP Desa dan APBDesa. Kepala Desa bersama Ketua BPD menjadi penasehat/pengarah, sementara rekruitmen kepengurusan diambil dari para pelaku informasi di desa termasuk pula perangkat desa jadi struktur pengurus, karena berkaitan erat dengan penghimpunan dan pengelolaan data base desa, pelayanan administrasi desa, tata kelola keuangan dan aset desa juga tata kelola SDA. Kelompok Kerja Informasi Desa ini juga sebenarnya akan menjadi strategis dan diperlukan oleh pemkab-pemkab karena justru akan mengefektifkan kinerja pemkab dalam relasi timbal balik arus lalu lintas informasi yang selalu up date antara desa-desa dan pemkab sendiri, maka perlu didukung untuk mulai dirancang pula program kegiatan melalui Dinas terkait (Kominfo dan Bappeda) dengan sasaran menjadikan minimal 1 desa tiap kecamatan jadi pilot project sistem informasi desa untuk percontohan bagi desa-desa lainnya ke depan. SKPD bisa memanfaatkan pula tenaga sarjana-sarjana asal desa untuk menjadi pendamping khusus program sistem informasi desa. Kelompok Kerja Informasi Desa inilah yang diberikan peran dan tanggungjawab serta kewenangan untuk menata, mengawal serta merawat Sistem Informasi Desa yang telah dibangun dan dikembangkan, baik dalam bentuk sistem aplikasi IT untuk pelayanan administrasi pemerintah desa, media website, media radio komunitas, media seluler (sms gateway), dan media cetak (misalnya ada buletin atau tabloid desa). 

KKID ini juga yang akan terus menerus meng up date informasi  dari pemerintah supra desa untuk disajikan secara terbuka kepada seluruh warga desa dan diberi tugas meng input hari ke hari perubahan data base yang ada dalam sistem aplikasi pelayanan administrasi desa berbasis IT bila telah diaplikasikan oleh pemerintah desa. KKID juga diberi peran untuk  mengejar, mengakses  dan menghimpun data-data based yang telah ada atau pernah disusun melalui program kegiatan di SKPD-SKPD kabupaten (Bapeda dan lainnya) maupun di BPS (sebagai pembanding) untuk disesuaikan dan divalidasi kembali, termasuk hasil-hasil assessment, survey, atau penelitian yang dijalankan oleh berbagai lembaga baik perguruan tinggi atau NGO’s di desa bersangkutan agar tak cuma jadi koleksi yang mubazir karena tak termanfaatkan sehingga bisa dikodifikasi menjadi kesatuan data based desa yang lengkap dan mudah diakses. 

Kita memahami untuk mewujudkan pengembangan Sistem Informasi Desa tidaklah mudah seperti membalik telapak tangan, perlu proses waktu sambil berjalan dan membangun kesamaan persepsi terlebih dahulu oleh aparat dan elit-elit desa dan semua kelompok pemangku kepentingan di desa,  namun setidaknya desa-desa dari sekarang telah mulai menjadikannya sebagai  arah kebijakan yang cukup strategis dan mendasar dalam RPJMDesa (revisi) agar menjadi program kegiatan dalam kebijakan ke depan. Perlu menjadi catatan penting, bahwa maju mundurnya desa, hitam putih nya perkembangan desa akan sangat signifikan dipengaruhi oleh faktor leadership (kepemimpinan) di pemerintahan desa (Kades bersama BPD) dan berikutnya faktor kemauan untuk membangun  sistem pemerintahan desa yang terbuka dan penuh tanggung jawab. Maka penataan dan pengembangan Sistem Informasi Desa ini akan menjadi bukti awal yang nyata adanya itikad baik dari Aparatur Desa (Kades bersama BPD) untuk  pemberdayaan masyarakat desa secara terbuka (sesuai spirit UU Keterbukaan Informasi Publik) sebagai prasyarat utama untuk meningkatkan dan memperluas partisipasi masyarakat agar agenda pembaharuan desa bisa terkawal  optimal sesuai tujuan dan semangat lahirnya UU Desa. 

Penulis : Bung Muda Mahendra, Mantan Bupati Kabupaten Kubu Raya dan Pendiri Institut Indonesia Moeda


 
Blogger Templates